Ketidaktahuan Lebih Baik daripada Ketahuan
Chapter 02
Gadis berambut hitam panjang mengilap itu tampak sedang mematut dirinya di depan cermin, mencoba untuk terlihat sempurna meskipun tujuannya kali ini tidak sebesar kelihatannya.
“Clau… Apa kau belum selesai?” Teriakan itu tampaknya sedikit membuat gadis itu terkejut dan menjawab panggilan tersebut.
“Sudah, bentar aku akan turun” Teriaknya.
“Tumben banget dia bisa berdandan dengan cepat kali ini. Padahal aku sudah mengatur waktuku agar kami berdua tidak menunggu” Gumam Claudia pelan sambil bergegas untuk turun dari kamarnya yang berada di lantai dua asrama.
Universitas Stanford mewajibkan mahasiswa tahun pertamanya untuk tinggal dan beraktivitas di asrama untuk mempermudah pengenalan kehidupan kampus. Hari ini adalah hari Minggu pertama Claudia berada di asrama, sebelumnya dia berada di salah satu penginapan di dekat kampus karena kamar asrama putrinya masih belum dirapikan.
Seperti biasa, di hari Minggu, sebagai seorang Kristen yang taat, Claudia melakukan kebaktian di Gereja dekat dengan kampus. Ini juga merupakan salah satu rangkaian acara pengenalan kehidupan kampus, terutama bagi para mahasiswa yang beragama Protestan. Claudia tidak tahu ada berapa angkatan dan mahasiswa yang beragama Protestan, tetapi salah satu dari teman satu lantai dengannya adalah seorang Protestan.
“Wow… Kenapa ke Gereja harus serapi itu sih?” Komentar seorang gadis berkulit gelap yang sedang berdiri di depan pintu begitu melihat Claudia. Mata hitam yang ramah dan ceria itu seolah sedang menatap putri yang anggun sedang berjalan menuruni tangga asrama.
“Eh… Memangnya tidak boleh berdandan rapi kalau mau ke Gereja?” Tanya Claudia dengan ekspresi wajah heran. Claudia memang seseorang dengan prinsip sempurna. Dia tidak mau tampil jika ada sesuatu yang salah, entah warna baju yang tidak cocok, noda kecil yang menempel di kerah baju, bahkan dengan tetesan air yang menetes di salah satu ujung rambutnya saja akan membuatnya risih.
Lihat saja penampilan sempurna nya saat akan berangkat mengikuti kebaktian di gereja. Kemeja licin berwarna krem cerah menghiasi badan nya yang proporsional dibalut dengan kardigan yang memanjang pinggul bagian bawahnya. Rok nya sedikit di atas lutut dengan kaos kaki panjang yang menghiasi kaki jenjangnya. Rambut hitamnya yang panjang terurai tanpa ada beban seolah kain sutera hitam yang membalut kepalanya.
Berbeda dengan Claudia, temannya, Sikin yang berasal dari Malaysia, menggunakan pakaian yang kasual seadanya. Kulit sawo matangnya terlihat serasi dengan baju sederhananya yang berwarna gelap. Daripada menggunakan rok, Sikin memilih untuk menggunakan celana jeans yang berwarna biru gelap. Rambut nya yang panjang tampaknya membatasi pergerakannya sehingga dia memilih untuk mengepang rambutnya agar tidak terlalu repot ketika di gereja nanti.
“Ya… Buat apa juga berdandan ke Gereja. Apa kau mau menggoda pastor di sana?” Kata Sikin sambil tersenyum kecil. Claudia tampak sedikit tersinggung dengan apa yang dikatakan oleh Sikin.
Memangnya salah ya jika ingin selalu tampil sempurna setiap saat? Kenapa orang selalu menuduh perempuan yang tampil sempurna sebagai wanita penggoda?
“Apa jangan-jangan sudah ada yang kamu taksir ya, dan kamu berharap dia melihatmu saat berada di gereja nanti” Kata Sikin sambil tersenyum menggoda ke arah Claudia.
“Eh…” Sahut Claudia sedikit terkejut dengan asumsi Sikin. Wajah Sikin yang awalnya terlihat ramah sekarang tampak menampakkan sebuah seringai menggoda.
Tidak ada yang mengungkit-ungkit lagi kejadian pidato saat upacara penerimaan mahasiswa baru tersebut, tetapi entah kenapa Claudia masih sedikit merasakan bahwa kebanyakan mahasiswa baru memandangnya dengan tatapan yang aneh. Dia tidak bisa menjelaskan apa pandangan aneh dari kebanyakan mahasiswa baru, tetapi dia merasa seolah dipermalukan di depan umum.
Claudia sadar bahwa sebenarnya bukan dia yang harus malu, tetapi Alvaro, yang sudah melontarkan pidato yang penuh dengan kontroversi. Pidato Claudia bahkan mendapatkan pujian dari rektor sendiri karena dinilai bisa memberikan motivasi kepada mahasiswa baru agar lebih semangat dalam menggapai impiannya, tetapi entah kenapa itu seolah tidak dapat mengobati Claudia dari kebenaran yang menyakitkan yang dibawakan oleh pidato dari Alvaro.
Benarkan bahwa selama ini aku tidak mengetahui apa-apa? Apakah impianku untuk mengubah dunia memang terlalu muluk-muluk?
“He…” Sebuah suara kecil membangunkan Claudia dari lamunan singkatnya dan beralih ke dunia nyata di mana sekarang Sikin sedang memandangnya dengan tatapan heran.
“Malah melamun lagi” Kata Sikin sambil cekikikan melihat ekspresi bengong dari wajah Claudia.
“Yuk deh, kita berangkat. Nanti terlambat lagi” Kata Sikin sambil berjalan santai menuju ke arah gereja.
-0-
Siang hari di depan Perpustakaan
“Santi lama banget sih” Gumam Claudia dengan nada kesal. Dia membuat janji dengan dua temannya hari ini. Pertama dengan Sikin untuk melaksanakan kebaktian di Gereja dan kemudian dengan Santi untuk mencari referensi tentang tugas yang digunakan untuk pengenalan kampus.
Jarak antara Gereja dan Asrama putri lumayan jauh sehingga Claudia memilih untuk menunggu Santi setelah berpesan kepada Sikin agar tidak menguras waktu. Tetapi bukan Claudia namanya jika dia tidak mempersiapkan semuanya dengan sempurna. Hampir tidak ada situasi di mana Claudia berpenampilan berantakan bahkan setelah seharian berada di Gereja.
Claudia kembali melihat arloji yang sudah bertengger di lengannya. Jarum panjangnya sudah menunjuk ke arah dua. Sepuluh menit berlalu begitu lambat bagi orang yang menunggu, tak terkecuali Claudia yang sudah berjanji akan bertemu dengan Santi di depan Perpustakaan tepat jam 1 siang dan dia sudah merasa menunggu teman sebangsanya itu selama berjam-jam.
Sial banget sih, mana baterai smartphone milikku habis lagi. Capek deh.
Sambil berdecak kesal, Claudia mencoba untuk mencari pengalih perhatian dari penantiannya yang tidak tahu kapan akan berakhir. Mata hitam nya tampak melihat kumpulan mahasiswa yang berlalu lalang. Entah yang hanya sekadar lewat di depan perpustakaan atau mungkin keluar dan masuk ke dalam perpustakaan. Pandangannya pun kemudian terbentur kepada sosok yang dikenalnya beberapa hari lalu. Rambut pendek yang eksentrik itu tampak begitu mencolok di keramaian para mahasiswa yang sedang berlalu lalang. Tak seorang pun akan mengira bahwa pria berambut pendek nyaris botak itu adalah salah satu mahasiswa baru yang beberapa hari yang lalu mengemukakan pendapat yang kontroversial dan tidak dapat diterima dengan baik oleh khalayak umum, bahkan para dosen sekalipun.
Apa yang dia lakukan di sini?
Kali ini dia tidak berpakai formal seperti saat pidato beberapa hari yang lalu, tetapi gaya khas nya yang santai sangat terlihat dari pakaian yang dia kenakan saat ini. Sebuah kaos berkerah dengan warna abu-abu polos dan celana jeans warna biru tua yang sudah agak memutih di bagian lututnya. Yang paling berbeda adalah kali ini dia mengenakan kacamata hitam dan raut wajahnya yang tidak bisa dibilang santai. Tumpukan buku menggunung di sisi kirinya sementara dia memegang sebuah buku tebal yang sedang dia buka sambil membawa sebuah highlighter.
Dasar untuk apa membawa buku sebanyak itu? Itu kan pasti berat banget.
Memandang wajah Alvaro yang sedang memakai kacamata membuat nya sedikit teringat oleh seseorang. Claudia yakin sekali bahwa dia pernah bertemu dengan Alvaro sebelum mereka berpidato bersama di depan mahasiswa baru beberapa hari yang lalu.
Otak Claudia pun menggali kembali ingatan nya sampai akhirnya tak lama kemudian dia teringat dengan orang yang menghinanya dengan sebutan norak saat berada di depan gerbang. Suara nya memang berbeda dengan Alvaro waktu pidato, tetapi postur tubuh, warna kulit, cara berjalan, dan sekarang kacamata nya pun sama persis dengan ingatan dari Claudia waktu itu.
Yang berbeda kali ini adalah, ekspresi wajah yang kemarin terlihat meremehkan sekarang terlihat sedang sibuk membaca buku yang tidak Claudia tahu judulnya. Meskipun tidak tahu apa judulnya, tetapi sampul buku berwarna hitam itu tampak menarik perhatian mata Claudia. Sepertinya bukan sampulnya yang menggodanya, tetapi gambar segi enam yang berada di sampul tersebut.
Bukankah itu lambang satanis? Apa orang ini adalah para elite global yang dikuliahkan di sini untuk menguasai dunia?
Di dorong oleh rasa penasaran yang amat sangat, gadis itu pun berjalan mendekati Alvaro untuk mengetahui buku apa yang dia. Meskipun sedang fokus dengan buku bacaannya, tampaknya Alvaro masih mendengar suara langkah kakinya yang sedang mendekati kursi tempatnya duduk. Pemuda berambut pendek itu pun sedikit mengerling ke arah Claudia yang membuat gadis itu menghentikan langkahnya, khawatir jika kata-kata ejekan akan keluar lagi dari mulutnya.
Perkiraan Claudia ternyata salah, dia cuma memandangnya dengan tatapan tidak tertarik sebelum akhirnya dia kembali membaca buku nya dengan raut wajah tidak berubah dari sebelumnya. Gadis itu pun hanya bisa berdiri di situ, mencoba untuk menangkap kenapa Alvaro bersikap demikian, seolah tidak melihat gadis itu sedang menuju ke arahnya.
Beberapa saat kemudian Claudia pun sadar dari lamunannya dan bergegas untuk menghampiri Alvaro kembali. Tidak seperti tadi, kali ini Alvaro tampak tidak sadar dengan kedatangan Claudia. Saat gadis itu sudah berdiri di depannya baru kemudian pemuda itu mengangkat pandangannya ke arah Claudia.
“Ah… Kukira siapa, ternyata kamu” Katanya dengan nada malas sebelum akhirnya melanjutkan kembali aktivitas membacanya. Claudia tampaknya masih tertarik dengan buku yang dibaca tersebut sehingga tidak memperhatikan apa yang dikatakan oleh Alvaro.
Sejarah Dunia yang Disembunyikan. Oh, iya, dia jurusan sejarah ya.
“Kenapa kau melamun? Apakah kau ada perlu untuk ke sini?” Tanya Alvaro kembali membangunkan Claudia dari lamunannya tentang buku yang dibaca oleh Alvaro.
“Enggak ada sih, hanya saja aku tertarik dengan buku yang kamu baca. Itu ada simbol-simbol aneh kayak Illuminati begitu, apa isinya adalah teori konspirasi?” Tanya Claudia sambil menunjuk ke arah buku yang dibaca oleh Alvaro. Pemuda itu hanya menatap wajahnya malas sambil memutar bola matanya mendengar ucapan dari Claudia.
“Ayolah… Kenapa semua orang berpikiran sempit sih. Ini hanya buku tentang sejarah dunia yang jarang orang ketahui” Kata Alvaro dengan nada malas. Claudia tampaknya sedikit tersinggung dengan ucapan Alvaro tentang pemikirannya yang dibilang sempit, wajahnya sedikit terlipat meskipun dia masih menahan ekspresi tersinggungnya.
Gadis itu pun menoleh ke arah tumpukan buku tebal yang ada di samping Alvaro. Hampir semua buku yang ada di situ tidak dikenalnya, kecuali buku-buku laris seperti 7 Kebiasaan Orang yang Efektif atau Bagaimana cara memenangkan kawan dan memengaruhi orang lain. Selain itu tampaknya buku sejarah yang cukup tebal. Meskipun begitu ada sebuah buku yang menarik perhatian gadis tersebut sehingga dia berinisiatif untuk duduk di depan Alvaro.
“Boleh aku pinjam beberapa bukunya?” Tanya Claudia. Alvaro hanya mengerling sebentar sebelum akhirnya menganggukkan kepalanya. Claudia pun mengambil salah satu buku dengan judul Sejarah Tuhan.
Ya… Mungkin tidak buruk juga jika aku menghabiskan waktu menungguku di sini.
Claudia pun membuka buku tersebut dan melihat daftar isinya. Dahinya berkerut dengan apa yang dia baca. Isinya sangat kontroversial, bahkan jika buku ini diterbitkan di Indonesia, Claudia yakin akan banyak pemuka agama yang memrotes penerbitan buku ini.
Buku karangan Karen Amstrong itu membahas tentang bagaimana manusia mengenal Tuhan semenjak zaman purba sampai zaman sekarang, bagaimana kepercayaan politeis menjadi monoteis dan apa yang meragukan dari agama zaman sekarang.
“Jangan membacanya jika kau belum siap kehilangan jati dirimu” Sahut Alvaro begitu melihat buku apa yang diambil oleh Claudia. Gadis itu pun mengangkat pandangannya sambil melihat ke arah Alvaro yang sedang memandanginya dengan tatapan yang sungguh serius. Dahinya kembali berkerut. Pemuda santai di depannya ini sangat tidak biasa, bahkan tidak cocok untuk memasang wajah seperti itu.
“Wow… Apa itu yang terjadi pada dirimu?” Raut wajah Claudia pun mengendur saat menanyakan hal tersebut kepada Alvaro. Pemuda itu pun kembali mengalihkan perhatiannya kepada buku yang dibacanya sambil mengangkat kedua bahunya.
“Entah lah, mungkin kau juga bisa bilang demikian” Jawab Alvaro. Claudia pun membuka beberapa halaman secara acak tentang suatu agama, kemudian langsung beralih ke agama lain dengan Tuhan yang berbeda. Wajah nya tampak santai menikmati kata demi kata pada halaman yang dibukanya.
“Ya, mungkin itu yang membuat pidatomu yang kemarin lebih bersifat negatif daripada ekspektasi orang lain” Sahut Claudia yang hanya dijawab dengan desahan pelan oleh Alvaro.
“Kenapa tiba-tiba membahas pidato itu, apa kau tersinggung bahwa aku mematahkan argumenmu terlalu cepat?” Tanya Alvaro.
“Tidak juga. Sebagai seorang mahasiswa baru di bidang Sejarah, aku sebenarnya cukup kagum dengan penjelasan yang kamu tarik dari masa lalu sebagai seorang manusia. Tetapi bukankah era purba dan era informasi sangat berbeda jauh?” Lanjut Claudia.
“Tentu saja berbeda, tidak ada yang berkata bahwa era purba dan era informasi itu sama. Kita memiliki masalah sendiri-sendiri” Jawab Alvaro santai saja. Kali ini dia mengalihkan pandangannya dari buku yang tadi di pegangnya dan melihat ke arah Claudia yang sepertinya masih membolak-balik buku Sejarah Tuhan di tangannya.
“Lalu, kenapa pidatomu kemarin seolah mengaitkan masalah manusia purba dengan masalah manusia di masa depan? Bukankah itu tidak relevan?” Kata Claudia. Gadis itu pun mengikuti jejak Alvaro dengan menutup buku miliknya dan memandang Alvaro.
“Ah… Kau bahkan tidak mengerti apa inti permasalahan yang dialami oleh manusia zaman sekarang. Yang kau tahu hanya pidatoku yang membahas masalah manusia purba dan tidak sesuai dengan ekspektasi optimis milikmu” Kata Alvaro tampak kesal dengan pertanyaan Claudia.
Kali ini gadis itu tampak benar-benar tersinggung dengan ucapan Alvaro. Apa dia meremehkan kemampuan berpikirnya sehingga dia menganggap bahwa dirinya tidak mengerti dengan inti permasalahan yang dibicarakan di pidatonya kemarin? Bukankah dia menjelaskannya dengan jelas?
“Bukankah kamu kemarin menjelaskan bahwa masalah dari generasi sekarang adalah ketergantungan pada teknologi?” Tanya Claudia masih mencoba untuk berkepala dingin menghadapi Alvaro. Pemuda itu hanya mengangguk malas mendengar jawaban dari Claudia.
“Itu hanya lah pengaruh jangka pendek, yang bisa kamu rasakan sekarang, tapi tahu tidak apa efek jangka panjang ketika umat manusia mulai tergantung dengan teknologi?” Alvaro pun melempar sedikit pertanyaan pada Claudia.
“Apakah kau khawatir tentang robot yang akan memusnahkan umat manusia seperti terminator? Atau kayak di film nya Doraemon di mana robot mulai menginvasi manusia dan memberontak kepada manusia. Sebagai calon ilmuwan data, aku berani menjamin bahwa kecerdasan robotika tidak akan mencapai taraf sekian selama beberapa dekade ke depan” Jelas Claudia mencoba menjelaskan apa yang seharusnya akan menjadi bidangnya.
“Bukan itu. Itu cuma film fiksi ilmiah yang kemungkinan besar tidak akan terjadi. Umat manusia harusnya juga mengerti dan bisa memrogram robot dan kecerdasan buatan hanya untuk kepentingan mereka saja. Inilah yang menjadi masalah” Sanggah Alvaro. Claudia tampak sedikit terkejut dengan ucapan dari Alvaro.
“Apa masalahnya? Bukankah mengembangkan teknologi itu bagus untuk umat manusia? Sebagai ahli sejarah kau harusnya tahu betapa menyusahkannya hidup di zaman dahulu” Sahut Claudia.
“Iya, memang susah untuk hidup di zaman dahulu dibandingkan dengan sekarang. Sekarang umat manusia bisa mengendalikan penyakit, membuat makanan yang berlimpah, bahkan sekarang manusia tidak perlu bekerja untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Tetapi yang jadi masalah sekarang adalah relevansi kehidupan manusia” Kata Alvaro.
Kali ini Claudia tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh Alvaro. Dia mengerti awal dari ucapannya adalah tentang kesusahan hidup di zaman dahulu, tetapi kenapa relevansi menjadi masalah.
“Dengar, apabila apa pun yang sekarang bisa kita lakukan juga bisa dilakukan oleh kecerdasan buatan, apa manfaat manusia hidup di alam?” Pertanyaan Alvaro jelas membuat Claudia terdiam.
“Dulu, kita memerlukan seorang dokter yang berpengalaman untuk mendiagnosis pasien dan memberikan resep yang tepat. Sekarang kita dapat mengajari komputer untuk melakukannya demi kenyamanan, kecepatan, serta kebaikan dokter. Apa gunanya dokter zaman sekarang? Begitu pula sopir, kasir, petugas administrasi, tukang ketik dll.” Jelas Alvaro mencoba untuk memberi contoh.
“Hei, tapi komputer memiliki tingkat kesalahan” Bantah Claudia. Alvaro tampak berdecak pelan mendengar bantahan dari Claudia yang tampaknya hanya berfokus pada dampak jangka pendek saja.
“Kau pikir dokter manusia tidak memiliki tingkat kesalahan” Jawab Alvaro.
“Oke, mungkin mereka juga memiliki tingkat kesalahan, tetapi mereka bisa dipindah ke bidang yang lain, mungkin sebagai guru atau pakar. Selain itu, bukankah manusia juga diperlukan dalam beberapa bidang yang tidak bisa dikomputerisasi” Jawab Claudia.
“Ya… Benar memang ada beberapa bidang yang tidak bisa dikomputerisasi. Tetapi, oke mari kita bayangkan skenario paling dekat dari beberapa pekerjaan yang bisa diganti dengan menggunakan komputer” Kali ini Alvaro menjelaskan semuanya sambil menghitung beberapa pekerjaan yang kemungkinan besar akan diganti dengan menggunakan komputer.
“Pertama, satpam, lalu kasir, dan mungkin lagi, sekretaris. Beberapa orang sudah memiliki pengetahuan yang benar-benar ahli di situ, kamu bahkan bisa menemukan orang yang bisa menghitung pengeluaran dengan menggunakan kalkulator sambil merem. Lalu, kau menyarankan untuk memindahkan orang yang sudah ahli tersebut ke dalam sebuah bidang yang sama sekali baru bagi mereka setelah mereka belajar begitu banyak. Pertanyaannya, apa mereka mampu?” Jelas Alvaro yang membuat dahi Claudia berkerut.
“Apa kau meremehkan kemampuan belajar umat manusia? Saat terdesak mereka pasti mampu untuk belajar dan bertahan hidup” Jawab Claudia singkat, meskipun sepertinya kali ini gadis ini sudah kekurangan akal tanpa ada data yang jelas.
“Oke, kita bisa asumsikan demikian. Ada beberapa profesi yang berpeluang sangat kecil untuk tergantikan seperti Programmer yang bertugas membuat kecerdasan buatan, mungkin saja manusia masih belum bisa mengizinkan komputer untuk membuat program mereka sendiri” Claudia tampak sedikit membusungkan dadanya ketika mendengar Alvaro mengakui profesi yang akan dia tekuni sebagai profesi yang masih belum bisa di komputerisasi.
“Lalu, asumsikan manusia sendiri memiliki kapasitas belajar yang tidak terbatas seperti yang kamu bilang, tetap saja penawaran sumber daya manusia akan membanjiri perusahaan sehingga kemungkinan besar kebanyakan mereka akan dibuang dan tidak dipakai. Ini pasti akan merusak pasar tenaga kerja manusia” Jelas Alvaro.
“Akan ada banyak pengangguran. Pembuat perangkat lunak yang cerdas akan mulai membuat kecerdasan buatan yang bisa menggusur sumber daya manusia lagi, menciptakan pengangguran lagi. Mereka yang lemah tidak bisa berkompetisi dengan mereka yang berpikiran kuat dalam menciptakan inovasi akhirnya jatuh dan menjadi pengangguran baru, sementara mereka yang kuat bertahan di posisi atas sambil terus menciptakan alat untuk menggusur yang di bawah” Claudia bisa merasakan potensi masalah yang sekarang sedang dibicarakan oleh Alvaro.
Memang benar, sebagai seseorang yang bercita-cita sebagai ilmuwan data, dia menyaksikan sendiri bagaimana raksasa dalam perusahaan teknologi papan atas akan mengembangkan banyak inovasi yang dapat membantu kebutuhan manusia.
Sebut saja, mobil yang bisa menyetir sendiri, komputer yang bisa membalas pesan sendiri, asisten komputer pribadi, pencarian dokumen secara cerdas, bahkan pengenalan wajah. Inovasi seperti ini akan menggusur profesi yang sebelumnya dilakukan oleh sopir, pengelola toko online, sekretaris, maupun satpam.
Dan, seperti yang Alvaro paparkan, gelombang pengangguran akan muncul dari berbagai pekerjaan yang sudah dikomputerisasi tersebut. Mereka yang tidak memiliki pilihan mungkin bisa belajar untuk bekerja lagi, tetapi sangat sulit untuk menggeser posisi perusahaan raksasa. Mereka juga harus bisa mengukuhkan posisi raksasanya dengan menciptakan inovasi yang laku di pasar, dan tentunya akan menggusur lebih banyak lapangan pekerjaan lagi.
In the end, yang tersisa kemungkinan besar hanya lah golongan dengan daya pikir tinggi yang berada di atas, dan golongan pengangguran yang ada di bawah. Golongan bisnis yang ada di atas akan menjalin hubungan dengan golongan bisnis yang lain sebagai konsumen dan produsen layanan. Hubungan timbal balik seperti ini menguntungkan kedua pihak, tetapi memperlebar golongan pengangguran tanpa keterampilan ini.
“Ini bukan akhir dari masalah ini” Claudia menjadi lebih terkejut lagi mendengar lanjutan dari paparan Alvaro yang panjang dan membuka pikirannya tadi.
“Ada yang lebih buruk lagi?” Tanya Claudia dengan wajah penasaran.
“Entah lah. Untuk saat ini kita juga masih belum yakin, tetapi dengan menggunakan pendekatan antropologi dan ekonomi, harusnya kita bisa mengetahui bahwa jurang pemisah itu tidak akan menyempit tanpa adanya pendidikan golongan bawah” Jelas Alvaro. Claudia menjadi semakin tertarik dengan apa kira-kira pembahasan yang akan dikemukakan oleh Alvaro setelah ini.
“Masalah akan terjadi, ketika orang yang berada di bawah tidak menunjukkan perkembangan apa pun meskipun sudah mengeluarkan biaya yang besar. Hal itu tentunya merugikan secara ekonomi dan secara jangka panjang, manusia juga pastinya akan mempertanyakan apa relevansi dari manusia pengangguran dalam jumlah besar ini” Jelas Alvaro. Claudia tampaknya tahu ke mana arah pembicaraan Alvaro saat ini.
“Maksudmu, saat masa seperti itu, manusia akan kehilangan pengaruh sebagai sebuah spesies dan ditindas oleh manusia yang lain seperti hewan ternak?” Tanya Claudia. Alvaro hanya sedikit mengangkat bahu sambil tersenyum santai mendengar pertanyaan dari Claudia.
“Entah lah” Jawab Alvaro singkat sebelum akhirnya dia menegakkan punggungnya sampai ruas tulang belakangnya berbunyi.
“Tetapi kebanyakan manusia memang tidak peduli dengan hal yang terlihat remeh semacam ini. Mereka hanya peduli dengan hal yang mereka tahu dan menutup diri mereka terhadap hal yang tidak mereka tahu. Dan meskipun kita memikirkannya sejauh apa pun, kita tidak bisa menemukan kebenarannya. Dan sekeras apa pun kita berusaha untuk menyuarakannya, jarang sekali kita akan membuat perubahan layaknya teriakan semut yang tidak terdengar di telinga manusia” Jelas Alvaro.
Memang benar, jarang sekali ada orang yang bisa meluangkan waktu untuk berpikir sejauh itu. Kebanyakan dari mereka hanya menerima dan meminta lebih dari teknologi, tidak sadar akan bahaya yang berbahaya. Orang yang penuh inovasi akan memanfaatkan kebiasaan manusia seperti ini sehingga lahirlah pencipta konten, Youtuber, kecerdasan buatan, tanpa tahu bahwa hal tersebut mematikan umat manusia.
Claudia hanya bisa terdiam sambil memandangi buku yang berada di tangannya. Otaknya berpikir bagaimana agar apa yang sudah dibicarakan oleh Alvaro kali ini bisa menjadi peringatan kepada umat manusia untuk menghadapi masa depannya.
“Ayolah, jangan berwajah seperti itu” Kata Alvaro. Claudia tampak sedikit terkejut dengan ucapan Alvaro yang membuyarkan lamunannya.
“Kamu adalah orang pertama yang berwajah seperti itu saat membicarakan hal ini denganku. Sebagian besar biasanya menyiapkan data untuk menolak pendapatku yang aneh barusan, tetapi sepertinya kamu ingin sekali ya melakukan suatu hal yang berguna untuk umat manusia. Sampai segitunya dipikirkan” Celetuk Alvaro sambil terkikik geli. Keterkejutan dari Claudia berubah menjadi kebingungan begitu mendengar apa yang Alvaro katakan.
Bukankah yang memulai diskusi serius seperti ini dia?
“Well, ini bukanlah sejenis teori konspirasi kau tahu? Reaksi pertama orang saat mendengar teori konspirasi biasanya adalah ingin menyebarkan hal tersebut. Ini hanya lah analisis berdasarkan data dan pengalaman, jadi bisa dibilang ini hanya pendapatku saja, tak lebih naif daripada tulisan seseorang di blog motivasi, atau ulasan kuliner dari para vlogger di Youtube” Jelas Alvaro.
“Tidak ada yang mengetahui semuanya, bahkan aku pun yakin jika ada seseorang yang mengetahui semuanya, itu tidak akan membuatnya lebih baik daripada orang yang tidak mengetahui apa pun. Bukankah ketidaktahuan itu lebih baik daripada ketahuan?” Sahut Alvaro sambil menyeringai. Claudia pun mengembangkan seulas senyuman manis nya kepada pemuda santai yang sedang duduk di depannya.
“Geez, kata-kaya itu lagi. Apakah itu merupakan salah satu ciri khas darimu?” Celetuk Claudia yang hanya di jawab dengan tawa renyah oleh Alvaro. Senyuman gadis itu pun kembali mengembang, wajahnya terasa agak sedikit menghangat, dia pun kembali mengalihkan pandangannya kepada buku yang dibawanya. Sebersit pikiran muncul dari benaknya tentang buku tersebut.
“Ngomong-ngomong, jati diri apa yang telah direnggut darimu oleh buku ini?”
To Be Continued
Oke, Prof. Why di sini.
Bagaimana perdebatan filosofis antara Claudia dan Alvaro tentang masa depan manusia? Apakah kalian juga mengalami pengaruh nya?
Di bagian selanjutnya mereka akan berdebat tentang masalah agama dan cita-cita. Cerita ini tidak berpihak kepada agama mana pun, jadi baca saja dengan pikiran terbuka.
Santai saja, karena tujuan saya sendiri pun tidak mengetahui mana yang paling benar. Seperti kata Alvaro, Bukankah ketidaktahuan lebih baik daripada ketahuan?