Ketidaktahuan Lebih Baik daripada Ketahuan

Chapter 01

‘Siswa teladan pada tahun ini diraih oleh Claudia, dengan nilai ujian sempurna’

Riuh tepuk tangan segera berbunyi sahut-menyahut menyambut seorang perempuan yang maju dengan anggun. Cahaya di depan panggung itu pun ikut menari-nari, seolah ikut berbahagia dengan pencapaian sempurna dari murid teladan tahun ini.

Musik dengan irama yang cepat, membangkitkan semangat bagi teman-temannya untuk terus melangkah maju, membuat perempuan ini semakin tegap.

Berjalanlah seperti seorang murid teladan

Katanya dengan penuh keyakinan di dalam hatinya. Itulah Claudia, seorang dengan hidup yang nyaris sempurna di awal masa mudanya.

Cantik, cerdas, tegas, anggun, kalian bisa menemukan semua kriteria idaman seorang pria dalam tubuh molek gadis yang baru berusia 18 tahun ini. Di usianya yang masih belia itu, Claudia sudah berkali-kali menjuarai kompetisi, mulai dari tingkat regional sampai dengan tingkat internasional.

Tak heran, meskipun masih usia muda, banyak sekali perguruan tinggi yang tertarik dengan gadis ajaib ini. Banyak penawaran dari perguruan tinggi dan beasiswa yang menunggu untuk diterima oleh Claudia. Dia hanya perlu tanda tangan saja dan kemudian mengikuti kuliah seperti anak kebanyakan.

Sungguh perempuan yang beruntung.

Langkah kaki jenjang nan cantik itu berhasil memukau para hadirin saat gadis itu menaiki panggung untuk menyampaikan pidato perpisahan sebagai perwakilan dari angkatan 2020. Senyuman manis penuh percaya diri mengembang di bibirnya yang merah, menambah keelokan wajah cantik yang seolah dipahat oleh tangan milik Tuhan sendiri.

“Selamat siang semuanya” Sapanya penuh dengan semangat. Biji matanya yang indah menatap hadirin dengan penuh percaya diri, seolah dia yakin bisa mengobarkan semangat mereka untuk membuat masa depan yang lebih cerah bagi seluruh generasi penerus bangsa.

Dan memang benar, gadis muda itu membuat sebuah pidato yang benar-benar mencengangkan. Seluruh hadirin tampak khidmat dalam mendengarkan pidato dari seseorang yang jauh lebih muda daripada mereka. Bahkan guru-gurunya sendiri pun seakan tersihir untuk terdiam dan menghayati pidato yang sarat dengan semangat dan percaya diri tersebut.

“Dan… Akhir kata, saya ucapkan terima kasih untuk kalian semua”

Suara tepuk tangan kembali menggema di dalam gedung tersebut, bahkan ada beberapa orang yang sempat berdiri karena takjub dengan pidato yang begitu menggetarkan dan memotivasi tersebut. Gadis itu pun berjalan kembali dengan anggun menuju ke tempat duduknya tadi.

Senyuman percaya diri tidak terlepas dari bibir indahnya, meskipun sebenarnya tidak ada yang tahu apa yang ada dalam hati kecil gadis tersebut.

Semua orang seolah memimpikan kehidupan sempurna seperti gadis tersebut, tetapi tidak ada yang mau memahami tekanan apa yang ada dalam pikiran gadis tersebut.

Tidak ada yang memahami bahwa apa yang ada di balik langkah penuh percaya diri tersebut, adalah perasaan takut dan cemas.

Tidak ada yang memahami bahwa apa yang berada di balik senyuman penuh percaya diri itu bukanlah Kita Pasti Bisa seperti yang diharapkan semua orang.

Tidak ada yang memahami bahwa apa yang berada di balik tatapan tegas yang menyihir para hadirin itu hanya lah sebuah tatapan penuh dengan tekanan dan intimidasi.

Tidak ada yang memahami bahwa di balik pidato yang mengesankan tersebut, hanya lah teriakan keputusasaan dari hatinya yang paling dalam.

“Pidato yang bagus, Clau. Ayah bangga padamu” Kata seseorang dengan senyuman yang tulus sambil menepuk bahu putri kebanggaannya ketika Claudia duduk di samping pria tersebut.

“Terima kasih, Ayah” Jawab Claudia dengan nada riang.

Terdengar hanya seperti percakapan seorang ayah yang bangga dengan putrinya. Tidak ada yang tahu bahwa di balik senyuman tersebut, terbersit sebuah intimidasi yang halus, tetapi mengerikan.

Yang tahu hanya dirinya seorang, yang sekarang sedang berteriak dalam keputusasaan, mencoba untuk lepas dari jerat intimidasi tersebut.

-0-

“Akhirnya aku bisa menjejakkan diriku di tanah kebebasan” Gumam Claudia. Bibirnya yang merah merekah tidak henti-hentinya menebarkan senyuman paling tulus miliknya.

Amerika Serikat, sebuah surga untuk para penikmat kebebasan. Iming-iming kehidupan yang bebas dari tekanan sosial, hak asasi yang terjamin, dan kebebasan dalam mengemukakan pendapat membuat negara adidaya ini menjadi rujukan dan teladan bagi banyak orang di dunia, termasuk Claudia.

Banyak kampus yang menawarinya beasiswa tidak membuat gadis kecil ini tergiur dan beralih dari cita-citanya dalam mencapai kebebasan yang sangat diinginkannya. Toh, keluarganya adalah orang yang berada, tidak pantas jika keluarga nya dibantu hanya karena dia mendapat prestasi yang lebih daripada temannya. Lebih baik gunakan itu untuk membantu orang yang lebih membutuhkan saja.

Mata hitamnya yang tegas menatap lurus ke arah gerbang megah yang tegap berdiri di depannya. Pikirannya terkagum dengan apa yang ada di depannya sehingga tidak sadar bahwa dia bertingkah sedikit aneh dengan terdiam di depan gerbang saat mahasiswa yang lain sedang terburu-buru untuk masuk agar bisa mengikuti upacara penerimaan mahasiswa baru.

Universitas Stanford, perguruan tinggi terbaik di seluruh dunia. Akhirnya Claudia berhasil menjejakkan kakinya di depan kampus yang sangat bergengsi ini. Kampus yang telah melahirkan direktur dan pemilik dari perusahaan besar, orang-orang berpengaruh, penerima penghargaan Nobel, bahkan atlet Olimpiade sekalipun.

Dan aku, pasti akan menyusul mereka semua

Katanya dengan penuh keyakinan dalam hati. Wajah cantik itu pun memejamkan pandangannya, seolah berdoa dan memohon kepada Tuhan agar cita-citanya untuk membuat umat manusia ini lebih baik dan lebih hebat terwujud.

“Dasar norak, masuk tinggal masuk saja lagi”

Sebuah suara membangunkan Claudia dari kekhusyukan berdoa nya. Bukan karena dialek dan bahasa yang sangat dikenalinya karena merupakan bahasa yang sudah dia pelajari sejak lahir, tetapi karena nada bicara meremehkan yang jarang sekali bahkan mungkin tidak pernah dia terima selama ini. Dia pun membuka matanya untuk melihat siapa orang yang mengejeknya.

Di depannya, sedang berjalan seorang pria dengan kulit sawo matang yang khas dan sangat familier, orang Melayu. Dialek yang tidak bisa dia lupakan itu mempertegas dugaannya bahwa yang ada di depannya adalah saudara sebangsanya, orang Indonesia.

Siapa dia? Berani sekali dia mengejekku

-0-

“Kalian semua beruntung, bisa diterima di sebuah Universitas paling bergengsi di dunia ini” Seorang pria dengan rambut yang sudah hampir botak tampak memberikan pidato di depan ratusan anak muda yang sedang khidmat mendengarkan pidatonya. Wajah pria tua itu tampak sangat bersemangat melihat calon mahasiswa nya yang penuh semangat belajar di masa muda mereka.

“Manfaatkanlah waktu kalian selagi kalian berada di universitas ini untuk menemukan diri kalian sendiri. Esensi dari pendidikan itu bukanlah tekanan karena harus memiliki nilai yang bagus, atau bahkan tekanan dari pihak lain. Pendidikan adalah usaha untuk membantu peserta didik menemukan diri dan peran peserta didik di dunia ini”

Cih… Pendidikan tanpa tekanan katanya

Pikiran Claudia tampak memberontak ketika mendengar sesuatu yang jauh dari deskripsi yang ada di dalam otaknya tersebut. Baginya, pendidikan adalah tentang intimidasi orang tua, tekanan untuk mendapat nilai, dan diskriminasi anak dengan kemampuan yang kurang. Daripada merupakan perjalanan, pendidikan lebih bisa disebut dengan pertarungan. Yap, pertarungan untuk menentukan siapa yang paling kuat bertahan di dalam ring yang disebut dengan sekolah ini.

Apa yang bisa kamu temukan dari dirimu sendiri ketika kamu sibuk untuk mengerjakan tugas yang terus menerus menggunung?

Apa yang bisa kamu temukan dari dirimu sendiri ketika kamu sibuk ditekan oleh orang tuamu, gurumu, dan bahkan teman-temanmu untuk memahami pelajaran yang bahkan tidak kamu senangi?

Kamu hanya akan menemukan pendidikan ini hanya lah sebatas bisnis busuk yang mengeruk keuntungan dengan alasan membuat umat manusia menjadi lebih baik lagi.

“Hampir 99% alumni dari Universitas Stanford memberikan pengaruh yang besar bagi dunia, entah di bidang politik, IPTEK, maupun olahraga. Dan saya yakin, kalian semua adalah orang-orang yang terpilih dan bisa menemukan peran kalian hidup di dunia ini” Senyuman kecil nan energik tidak pernah lepas dari wajah yang sudah penuh dengan kerutan tersebut, seolah bangga memimpin lembaga pendidikan yang sudah menelurkan banyak orang hebat.

“So, akhir kata. Selamat menempuh pendidikan kalian di Universitas ini, saya mewakili segenap pendidik dan seluruh staf akan berusaha untuk membimbing kalian untuk menemukan diri kalian sendiri” Suara riuh tepuk tangan mengiringi kepergian rektor dari Universitas Stanford tersebut setelah pidatonya yang begitu memotivasi.

“Kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Rektor atas pidato pembukaan yang sangat memotivasi sekali. Dan memang benar, kalian harus bangga karena kalian berada di sebuah kampus yang akan mencetak generasi unggul yang memiliki perang penting di dunia ini”

“Universitas Stanford telah mengalami sebuah sejarah yang panjang sejak masa Revolusi Amerika beberapa dekade yang lalu. Sudah banyak sekali alumni dari Universitas Stanford yang berhasil memberikan sumbangsih yang begitu besar bagi dunia ini”

“Tetapi, tahun ini adalah tahun yang begitu spesial, karena sepanjang sejarah tersebut, baru tahun ini kami menerima mahasiswa yang berhasil memecahkan rekor pengerjaan tes SAT dan ACT dengan nilai sempurna di kedua tes” Sebuah decak kagum segera terdengar bersahutan di antara para calon mahasiswa tersebut.

“Dan, yang lebih mengejutkan lagi, kami menerima dua mahasiswa dengan nilai sempurna tersebut” Kali ini bukan hanya decak kagum yang keluar dari mulut mahasiswa tersebut, tetapi juga tepuk tangan yang ikut mengiringi dengan riuh dan meriah.

Memberikan pidato untuk perwakilan angkatan memang sudah biasa bagiku, tetapi baru kali ini aku pidato bersama dengan orang lain. Aku penasaran seperti apa orang itu.

Pikir Claudia sambil melihat penampilannya. Apakah masih ada kerutan di kemeja yang dia pakai? Apakah jas miliknya sudah benar-benar tertata rapi? Apakah rambutnya tidak kering dan lepek? Dia ingin memberikan kesan pertama yang sempurna kepada teman mahasiswa nya untuk memberikan semangat dan motivasi kepada mereka.

“Oleh karena itu, tahun ini, perkenankan kami untuk memberikan mereka kesempatan untuk memberikan pidato mereka di depan kalian semua. Kita sambut mereka berdua, Claudia dan Alvaro”

Claudia pun berdiri dengan anggun. Penampilan yang begitu sempurna dan tampak sangat profesional berjalan dengan penuh percaya diri. Mata hitamnya yang tegas dan percaya diri itu tampak melirik ke sisi lain di mana anak yang bernama Alvaro sedang berdiri, tetapi dengan postur yang sangat berbeda dengan dirinya.

Berbeda dengan Claudia, Alvaro tampak santai berjalan dengan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. Penampilan pria itu masih tergolong rapi, meskipun sedikit tidak cocok jika dipakai dalam keadaan formal. Dia mengenakan pakaian putih, sama seperti mahasiswa cowok yang lain, tak kalah licin dengan mereka semua. Yang membedakan adalah dia membiarkan ujung lengan kemeja nya tidak terkancing, dan malah melipat keduanya sampai setengah lengan bawah.

Celananya juga celana kain hitam mengilap yang licin dan rapi, tetapi terlihat bahwa celana itu agak ketat di daerah betis. Dasi hitam yang tak kalah mengilap nya pun menghiasi dadanya, hanya saja dasi itu terlalu pendek, dan tipis seolah dasi itu hanya ditempelkan begitu saja di depan kemejanya.

Ekspresi wajahnya pun santai, seolah masih berada di tukang cukur dan sekarang gilirannya untuk di cukur. Potongan rambutnya pendek, kelewat pendek sehingga jika tidak dilihat dengan saksama mungkin kebanyakan orang akan mengira bahwa itu adalah kebotakan yang alami.

Mereka berdua berjalan dengan penuh percaya diri, meskipun berbeda gaya. Alvaro berjalan dengan gaya santai dan Claudia yang berjalan dengan gaya profesional miliknya.

Hadirin sekalian yang kami hormati

Claudia memulai pidatonya dengan penuh percaya diri. Matanya menatap lurus ke depan, ke arah ratusan orang yang sekarang sedang menontonnya yang nanti akan menjadi teman seangkatannya.

Saya sangat bangga sekali, bisa menjadi mahasiswa dari sebuah universitas terbaik dunia dan berada di fakultas yang sangat saya impikan sejak kecil. Selain itu, saya juga merasa sangat terhormat dapat memberikan sedikit pidato saya untuk mewakili teman-teman seangkatan saya yang kelak akan menjadi rekan seperjuangan saya untuk memberikan perubahan di dunia ini.

Teman-teman sekalian, sejak kecil saya selalu membaca kisah tokoh yang paling mengagumkan sepanjang sejarah, yang memberikan sumbangsih dan pemikirannya untuk kebaikan dunia ini. Sebut saja Galileo, Isaac Newton, Albert Einstein, Benjamin Franklin, dan banyak lagi orang yang berhasil menorehkan namanya berkat pemikiran fenomenal nya yang memberikan mereka peran yang besar di dunia ini.

Hal itu memotivasi saya secara khusus sehingga mendorong saya untuk memasuki kampus impian saya, yang telah menelurkan banyak orang berpengaruh di dunia ini. Dan saya yakin, bahwa dengan bantuan dari dosen-dosen, staf dan para pakar yang ada di sini, kita yang awalnya bukan siapa-siapa, suatu hari nanti akan dikenang oleh umat manusia layaknya kita mengenang Newton pada hari ini.

Oleh karena itu, saya, Claudia, secara khusus dan mewakili harapan semua teman-teman seangkatan saya, memohon dan berharap kepada bapak/ibu dosen, pendidik dan pakar yang terhormat, untuk membimbing kami melalui jalan hidup kami sehingga menjadi orang yang bisa berperan dalam pengembangan dunia ini.

Akhir kata, pesan saya kepada teman-teman adalah, jangan patah semangat, karena kita semuanya berada di sini, di kampus terbaik di dunia, dengan pendidik yang berkompeten, pasti dan akan mengubah dunia sesuai dengan bidang kita masing-masing.

Terima kasih

Riuh tepuk tangan menggema di dalam aula tersebut begitu mendengar ucapan Claudia. Pidato yang singkat tetapi tegas itu menyulut semangat para mahasiswa baru untuk segera belajar dan bisa berperan dalam pengembangan umat manusia menjadi lebih baik.

Mata hitam Claudia menatap puas ke arah hadirin yang sudah tergugah semangatnya oleh kata-katanya tersebut. Senyuman percaya diri mengembang di bibir merahnya saat dia berjalan mundur dari podium, seolah merasa puas bahwa dia bisa membakar semangat mereka semua dan membuktikan bahwa dia bisa memimpin mereka semua.

Cowok yang dari tadi hanya memasang ekspresi senyuman santai itu pun berjalan maju, menggantikan posisi Claudia di podium. Berbeda dengan Claudia yang berpidato dengan posisi tegap, mengucapkan semuanya dengan tegas, lantang dan percaya diri, tangan cowok ini langsung menggenggam tepi podium sambil sedikit membungkuk, mencoba menyesuaikan tinggi badannya dengan mikrofon yang ada di atas podium. Ekspresi santainya masih belum berubah sejak dia berdiri di belakang Claudia.

Teman-teman sekalian, bukankah rasanya sombong jika kita mengaku bahwa masa depan kita berada di tangan kita?

Hening.

Tanpa salam, tanpa sapaan, tanpa basa-basi. Suasana yang tadinya riuh, termotivasi dan penuh optimisme sekarang menjadi hening. Alvaro tersenyum kecil menanggapi perubahan suasana yang begitu tiba-tiba tersebut. Dengan santai dia pun melanjutkan pidatonya.

Saya sangat berterima kasih sekali karena sudah di terima di kampus terbaik di dunia di bidang yang sudah lama saya tekuni, yaitu sejarah.

Berbicara soal sejarah, banyak orang meremehkan apa yang disebut dengan sejarah, dan banyak orang yang melupakan apa makna sejarah sebelumnya.

Banyak dari orang-orang modern sekarang yang menganggap orang-orang dari masa lalu itu primitif dan tidak menguasai apa pun. Bukan sebuah persepsi yang salah, tetapi itu merupakan salah satu bentuk kesombongan yang benar-benar angkuh.

Coba pikirkan kembali. Orang di masa lalu bisa bertahan hidup dari penyakit, bahkan tanpa ada dokter di antara mereka. Para pemburu dan pengumpul purba tidak akan bingung hanya karena di PHK oleh perusahaan.

Lihat kehidupan kita sekarang. Sekarang kita bahkan bingung ketika smartphone milik kita ketinggalan, atasan kita menegur kita karena terlambat kerja, atau pemerintah mengeluarkan kebijakan baru yang membebankan pajak kepada kita.

Dan yang lebih lucunya, manusia modern menganggap mereka hanya lah makhluk primitif dan mengatakan bahwa masa depan adalah milik umat manusia, sementara mereka semua selalu bingung dengan masalah kecil seperti di atas.

Manusia semakin lama semakin membutuhkan bantuan orang lain untuk mengurus hidupnya, bahkan bantuan komputer. Kita menyerahkan urusan perjalanan kita kepada Google Maps, menyerahkan urusan olahraga kita pada Google Fit, menyerahkan urusan pekerjaan kita kepada Google Drive, menyerahkan urusan musik kita pada Spotify, dan kemudian dengan sombongnya kita mengatakan bahwa masa depan berada di tangan kita?

Apa yang akan kita urus sendiri di masa depan nanti ketika kita menyerahkan semua urusan kita saat ini kepada komputer?

Hening. Mereka semua tahu itu adalah pidato yang benar-benar menusuk generasi mereka semua. Alvaro hanya tersenyum kecil melihat keheningan tersebut.

Siapa yang tahu? Bukankah ketidaktahuan lebih baik daripada ketahuan?

Daftar Isi | Chapter Selanjutnya