Epilog 6.4: Respek
Karma’s POV
21 Agustus 2021
Halo, Pak Karma
Aku cuma pengen bilang terima kasih yang banyak banget karena sudah melakukan banyak hal. Sering ditraktir, sering diajak mengobrol, sering dibantu, pokoknya terima kasih banyak deh.
Berkat Pak Karma aku jadi lebih betah di asrama, lebih semangat dalam meraih cita-cita, dan juga pastinya lebih bisa menyadari banyak hal yang awalnya tidak aku sadari.
Terima kasih banyak Pak Karma
Aku pun hanya tersenyum kecil membaca surat kecil dari salah satu muridku tersebut. Kubuka lagi lipatan bawah dari kertas tersebut untuk melihat sebuah catatan kecil.
PS. Semoga Pak Karma bisa segera mendapatkan jodoh yang cantik, baik, dan bisa peduli sama pemikirannya.
Hampir saja aku tertawa membaca hal tersebut. Entah mengapa aku sendiri sudah terlalu kebal dengan semua hal yang berbau seperti doa di atas. Mungkin jodoh dan pasangan memang sudah ada ketentuan masing-masing, tetapi hanya dengan berdoa saja tidak mungkin kita langsung mendapatkan gadis impian kita bukan? Selain itu, pasangan cantik dan baik mungkin saja tidak menjamin kebahagiaan hidup kalian.
Yang cantik aja belum menjamin kebahagiaan, apalagi yang jelek.
Aku pun menyandarkan tubuhku di atas kursi kantor sambil memegang kertas biru tersebut. Pikiranku kembali menerawang jauh entah ke mana begitu mengingat apa yang dituliskan oleh Lucky melalui surat tersebut.
Buddha mengatakan bahwa pikiran kita itu layaknya monyet, berlompatan ke sana ke mari dan terkadang tanpa kendali dari kita. Entah kenapa tiba-tiba saja aku memikirkan apa yang dikatakan oleh Maria kemarin lusa.
Bisa dibilang Lucky adalah anak baru karena dia pindah dari sekolah lain dan belum genap setahun dia bersekolah di sini. Aku pun awalnya agak sedikit acuh dengan Lucky dan lebih memilih untuk banyak cerita dan curhat kepada adik kelasnya yang perempuan. Kadang aku merasa bahwa perempuan memiliki empati yang cukup sehingga saat aku berbicara dengan mereka aku merasa lebih dihargai daripada harus berbicara dengan laki-laki.
Tapi ucapan Maria dan juga surat dari Lucky benar-benar mengejutkanku.
Aku baru dekat dengan Lucky sekitar dua bulan yang lalu. Waktu itu aku masih merangkap menjadi banyak hal untuk mengurusi siswa, mulai dari siswa yang telepon, siswa yang mau mengambil uang, siswa yang mau membuat kaos kelas, bahkan aku mengurusi pergaulannya siswa. Aku merasa bahwa siswa-siswa ini layaknya orang bodoh yang terkadang terlalu membesar-besarkan masalah yang dia alami dan aku merasa sebal sendiri saat itu.
Tapi, Lucky benar-benar anak yang berbeda waktu itu. Meskipun statusnya sebagai anak pindahan, dia tidak begitu ribet dalam urusan-urusan remeh yang bisa dia kerjakan sendiri. Aku melihatnya jarang banget telepon orang tua, jarang banget mengeluh tidak kerasan di asrama, dan sepertinya juga jarang membutuhkan uang.
Mulai saat itu aku tertarik dengan Lucky dan mulai mengajaknya untuk berbicara seperlunya saja.
Tapi hal yang paling mengherankan buatku adalah aku tidak menraktir Lucky sesering aku menraktir anak cewek yang lain, tetapi dia menunjukkan respek yang cukup besar dengan menuliskan pesan buatku.
Selama aku melayani dan juga memberikan coklat, kue, snack, bahkan makanan berat sekalipun, aku merasa tidak pernah murid cewekku ini memberikan rasa respek dengan berterima kasih seperti Lucky. Hal itu yang mengingatkanku kepada ucapan dari Maria.
Apa sih yang sebenarnya aku harapkan dengan memberikan sesuatu kepada muridku yang cewek? Kenapa harus coklat dan kenapa harus cewek?
Awalnya mungkin saja aku merasa bahwa cewek memiliki empati dan juga respek yang besar terhadap apa yang diberikan kepada mereka. Tetapi, lihat hasilnya?
Aku bahkan hanya mengajak Lucky untuk makan ayam bakar satu kali yang harganya juga lebih murah daripada sebatang coklat yang berkali-kali aku berikan kepada murid cewekku, dan dia menghargai pemberianku dengan kata-katanya. Apakah persangkaanku tentang perempuan ini salah? Atau memang Lucky adalah anak yang santun sehingga dia tahu diri?
Dan pertanyaan yang paling besar adalah, apakah memang aku hanya tebar pesona kepada murid cewekku agar aku bisa lebih disukai oleh mereka?
Aku pun kembali melihat kertas yang diberikan oleh Lucky tadi pagi dan menyadari bahwa dia menuliskan coretan kecil di balik kertas tersebut. Aku pun membaca tulisan yang tidak terstruktur tersebut dimulai dari tengah.
Pak Karma itu:
- Keren
- Lucu
- Kutu buku
- Motivator gokil
- Baik
- Cerdas
Aku pun tersenyum kecil membaca tulisan dari Lucky tersebut. Aku merasa sedikit malu dengan semua kata pujian yang tertulis di situ karena aku sendiri terkadang tidak merasa seperti itu. Selain itu, meskipun aku selalu bilang bahwa kita harus mengamati apa yang berada di sekitar kita dan jangan sampai merasa terhanyut dengan angan-angan aneh yang ada di dunia ini, tetapi aku benar-benar melupakan satu hal ini.
Banyak orang yang ingin menjadi bahagia dengan uang, tetapi mereka tidak menyadari bahwa mereka diberikan tubuh yang sehat sehingga menjadi lebih bahagia daripada orang yang kaya tetapi sakit. Angan-angan mereka yang sudah menghanyutkan mereka sehingga tidak bisa melihat kenikmatan dari kesehatan tersebut.
Hal yang sama juga berlaku untukku kan? Aku ingin merasa bahagia dengan dihargai oleh murid cewekku sehingga aku terhanyut oleh angan-angan tersebut tanpa menyadari bahwa aku juga punya murid laki-laki yang benar-benar bisa menghargaiku.
“Dasar motivator gokil”
-0-
“Bang, kayaknya kau sudah agak kurusan ya sekarang?” Tanya seorang perempuan sambil menyendok nasi yang berada di depannya. Aku hanya menatapnya dengan tatapan sedikit heran sambil mengunyah nasiku sendiri.
“Iya, mungkin. Seminggu ini turun dua kilo sih” Kataku.
“Wow… Hebat. Aku dari dulu terus mencoba untuk diet tetapi turunnya lama banget” Timpalnya sebelum meneguk segelas air putih yang berada di depannya. Aku pun terdiam mendengar ucapan dari adikku tersebut. Entah mengapa pikiranku kali ini tertuju pada Intan.
Gadis kecil itu yang selama ini terus mengganggu pikiranku, dan selalu mendorongku untuk terus berusaha agar aku bisa menjadi lebih baik lagi. Apakah aku menyukainya? Mungkin saja dan aku ingin tampil yang terbaik demi dirinya. Tapi aku merasakan sesuatu yang lebih daripada itu.
Bukan, ini bukan seperti yang kalian pikirkan. Hanya saja aku merasa bahwa sekeras apa pun aku berusaha untuk tampil yang terbaik tetapi dia tidak pernah melihatku, aku tidak akan menyesal.
Aku tidak akan menyesal telah mencoba berangkat bekerja dengan mengayuh sepeda sejauh 11 Km setiap hari.
Aku tidak akan menyesal telah menghabiskan uangku untuk membeli susu setiap hari.
Aku tidak akan menyesal telah membeli beberapa hal untuk merawat diriku.
Dan aku juga tidak akan menyesal telah berubah meskipun dia menolakku.
Apakah aku berubah demi dirinya? Atau demi diriku sendiri?