Chapter 6.3: Rahasia
Lucky’s POV
20 Agustus 2021
“Ha… Capek” Keluhku sambil menjatuhkan diriku dan kemudian tidur tertelungkup di atas kasur yang sudah kubentangkan di kamar asrama.
Beberapa hari ini sibuk sekali sehingga aku merasa sangat lelah sekali. Dan entah kenapa juga aku seolah tidak diizinkan untuk beristirahat. Ada saja sesuatu yang harus aku kerjakan bersama dengan teman-teman.
Liburan bikin acara makan-makan, kemudian ada acara seminar, atau mungkin acara lomba dari sekolah untuk memeriahkan hari kemerdekaan. Duh… rasanya pengen banget aku pulang dan melakukan sesuatu yang menyenangkan di rumah.
Tidak, aku tidak bilang bahwa berada di asrama ini membosankan dan tidak menyenangkan, tetapi lebih menyenangkan jika aku memiliki pilihan untuk membuat acaraku sendiri. Siapa coba yang senang jika harus dipaksa ikut lomba cerdas cermat, padahal kemampuanku benar-benar pas-pasan sehingga adik kelasku mungkin saja lebih pintar daripada aku.
Meskipun terlihat menyenangkan, tapi itu membuat tertekan dan… kalian mengerti kan bagaimana maksudku?
Aku hanya ingin melakukan apa yang ingin aku lakukan, bukan dipaksa dengan berbagai macam acara yang begitu melelah…
“Kenapa kau, Luck?” Aku pun menoleh ke arah suara yang memanggilku dari arah pintu masuk kamar. Terlihat guru dengan model rambut yang berantakan tersebut memasuki kamarku dengan senyuman yang penuh dengan semangat. Entah kenapa aku merasa sedikit kagum dengan guru yang satu ini. Aku tidak mengerti apakah dia melakukan semua pekerjaannya yang berada di sini dengan terpaksa atau dengan sukarela, tetapi raut wajahnya hampir selalu menampilkan kesemangatan dan keseriusan dalam bekerja.
Bukan berarti dia tidak pernah mengeluh. Dia juga pernah mengeluh bahwa pekerjaannya cukup memberinya beban, tetapi kurasa meskipun dia mengeluh dia masih mengerjakan pekerjaannya dengan penuh semangat. Selain itu, berbeda denganku, sepertinya dia bisa mengatur semangatnya sehingga jarang sekali aku melihatnya bekerja terlalu bersemangat sampai jatuh sakit.
“Gak papa, mungkin cuma kecapekan saja” Kataku sambil duduk.
“Ada perlu apa ke sini pak?” Tanyaku langsung ke intinya saja. Dia bukan tipe orang yang suka basa-basi dan aku sudah hafal dengan kebiasaan tersebut. Mungkin saja dia mau mengobrol tentang sesuatu atau mungkin memang ada pekerjaan yang harus dilakukan sehingga dia mengajakku untuk melakukannya bersama.
Tapi mohon maaf Pak Karma, jika memang ada pekerjaan sore ini aku masih belum bisa membantumu.
“Kamu mau menemaniku keluar tidak?” Tanyanya. Aku pun menatapnya dengan tatapan heran. Kenapa dia tiba-tiba mengajakku untuk keluar?
“Menemani ke mana?” Tanyaku.
“Mungkin aku mau beli kaos dan celana. Dan juga, bukannya kemarin kamu pernah bilang padaku tentang tempat cukur rambut yang bagus?” Katanya. Ah… iya, kemarin dia pernah bilang dia ingin mencukur rambutnya yang sudah mulai panjang. Sebenarnya rambutnya tidak begitu panjang sih, hanya saja karena dari awal dia mencukur gundul rambutnya sehingga bagian tepinya kelihatan lebih panjang daripada bagian tengahnya.
“Jadi, mau cukur rambut dan beli kaos nih?” Tanyaku. Dia pun mengangguk setuju dengan pertanyaanku baru saja. Aku pun terdiam dan mencoba memikirkan ajakan tersebut. Sudah cukup lama sih sejak terakhir kali aku keluar dari asrama, mungkin tiga minggu yang lalu ketika aku membeli kebutuhan di mall dekat pasar. Setelah itu sepertinya uangku selalu habis di akhir minggu sehingga aku tidak sempat untuk keluar asrama.
Daripada aku harus mengutang hanya untuk keluar dari asrama, lebih baik aku menahan hasratku untuk keluar dari asrama dan tidur siang sepuasnya.
“Oke deh, anggap aja istirahat” Kataku sambil berdiri dan kemudian membuka lokerku untuk mencari jaket yang biasa aku pakai untuk keluar.
“Aku tunggu di kantor ya” Kata Pak Karma sambil kemudian berjalan keluar dari kamar.
“Oke”
-0-
“Menurutmu, jaket yang cocok untuk lari-lari yang mana?” Tanya Pak Karma sambil melihat-lihat jaket yang ada di mall tersebut.
“Hm” Kataku mencoba untuk berpikir. Entah kenapa aku selalu tidak begitu mengerti ketika aku ditanya tentang pendapatku. Menurutku setiap orang punya pendapatnya masing-masing sehingga buat apa juga aku mengutarakan pendapatku karena mungkin saja pendapatku tidak cocok dengan keinginan mereka. Buat apa memberi minum kepada seseorang jika nantinya orang tersebut akan menyemburkan minuman kita tepat di wajah kita.
Aku selalu takut dengan hal tersebut sehingga ketika aku dimintai pendapat aku selalu mencoba untuk menebak apa kira-kira pendapat yang cocok dengan orang tersebut sehingga dia tidak menyemburkan pendapat dan saran yang sudah aku katakan kepadanya.
“Bapak suka yang gelap apa yang terang?” Tanyaku pada Pak Karma.
“Entah. Pilih saja yang menurutmu bagus” Katanya. Aduh… susah nih jika aku harus dimintai pendapat dengan bebas seperti ini. Aku benar-benar tidak mengerti dengan kesukaan Pak Karma sehingga jika aku disuruh untuk memilihkan, pasti aku akan memilih sesuatu yang aku suka. Dan belum tentu Pak Karma suka dengan pilihanku.
Aku pun berjalan-jalan di antara berbagai macam jaket yang dipajang di gantungan besi, sambil berlagak sedang memilihkan sesuatu untuk Pak Karma, meskipun aku masih benar-benar bingung apa yang harusnya aku pilihkan untuk guruku yang satu ini. Aku hanya akut jika dia menolak pilihanku dan…
“Udah pilih aja sesukamu dulu” Kata Pak Karma. Aku pun memandangnya dengan tatapan heran, apa orang ini bisa membaca pikiranku? Aduh… Bodoh amat deh. Aku akan memilih yang cocok dengan seleraku saja.
“Bagaimana dengan jaket seperti ini? Bahannya agak tebal sehingga bisa mempermudah keluarnya keringat” Kataku sambil asal mencomot satu buah jaket parasut. Pak Karma pun melihat-lihat jaket tersebut sambil mengira-ngira.
“Berkeringat bukan berarti larinya berhasil sih, itu malah mempercepat kita dehidrasi. Tapi model jaketnya bagus juga, aku mau coba dulu” Kata Pak Karma sambil membawa jaket yang kupilihkan tadi menuju kamar ganti. Ya… Sepertinya dia mau menolak pendapatku, hanya saja dia masih memiliki alasan untuk tetap bisa menerima.
“Oke”
-0-
“Kamu mau makan apa?” Tanya Pak Karma begitu kami berdua keluar dari mall.
“Aku mau ayam bakar” Kali ini aku sedikit lebih berani untuk mengungkapkan pendapatku. Pak Karma benar-benar membeli jaket yang aku pilihkan sehingga aku menjadi lebih sedikit percaya diri dengan pendapatku sehingga tanpa ragu lagi aku memilih ingin memakan ayam bakar. Pak Karma hanya tersenyum kecil sebelum berjalan menuju ke arah warung ayam bakar yang berada di seberang jalan.
“Ayam bakarnya dua sama nasi” Katanya memesan sebelum akhirnya berjalan dan duduk di depanku. Kami terdiam beberapa detik sebelum akhirnya Pak Karma mulai angkat bicara. Sepertinya dia menungguku untuk mengatakan sesuatu sebelum dia ingin mengajakku mengobrol tentang masalahnya. Sebenarnya aku tidak pernah mendengar Pak Karma membicarakan masalahnya sih, terkadang beliau hanya berbicara tentang hikmah dan juga kisah kehidupannya. Bukan mengeluh dan minta solusi, lebih seperti bercerita dan meminta pandangan baru.
“Kamu tahu apa yang aku kerjakan saat seminar kemarin. Ini yang aku kerjakan” Katanya sambil menunjukkan jam tangannya. Aku pun menengok ke arah jam tangan tersebut dan kemudian melihat foto hitam putih seseorang yang tidak begitu jelas. Sebenarnya fotonya jelas sih, seorang cewek berkerudung yang dipotret dari samping, hanya saja aku tidak kenal dengan cewek yang ada di foto tersebut sehingga aku tidak begitu jelas melihatnya.
“Wow… itu foto siapa” Tanyaku.
“Intan” Jawabnya enteng. Aku pun sedikit kaget dengan ucapan dari guruku tersebut. Rumor tentang Pak Karma yang menyukai Intan memang sudah benar-benar tersebar sih, tetapi Pak Karma tidak pernah menanggapi hal tersebut dengan serius dan hanya bilang bahwa seperti itu hanya guyonan anak muda saja. Lalu kemudian dia menunjukkan kepadaku foto dari murid tersebut.
“Bapak memang suka sama Intan?” Tanyaku dengan nada penasaran. Jarak umur mereka terpaut cukup jauh sih, bahkan aku yang jauh lebih muda dari Pak Karma saja suka dengan seseorang yang lebih tua daripada Intan. Apa jangan-jangan Pak Karma ini adalah seorang paedofil?
“Tepatnya tidak begitu sih. Aku tahu kapan aku bisa suka sama cewek, tetapi aku tidak merasakan hal tersebut. Hanya saja aku merasa bahwa aku termotivasi untuk berubah gara-gara dia” Mulai lagi deh. Dia selalu menjelaskan sesuatu dengan bertele-tele, merasionalisasikan sesuatu yang sebenarnya sudah terlihat jelas dan memberikan alasan yang logis untuk membenarkan hal tersebut.
Sebenarnya itu bukan hal buruk sih. Aku pernah mendengar dia berkata bahwa terkadang intuisi kita itu tidak bisa dipercaya. Mungkin saja kita merasa bahwa kita menyukai seseorang dan merasa bahwa diri kita akan bahagia ketika sudah mendapatkan orang tersebut, tetapi begitu kita mendapatkannya, yang kita dapat bukan kebahagiaan, melainkan kehampaan. Rasionalisasi dan alasan membuat intuisi kita semakin kuat sehingga kita tidak terjebak dengan perasaan suka yang tanpa alasan.
“Berubah seperti gimana, Pak?” Tanyaku.
“Ya… Aku menjadi lebih sering berolahraga, terus kemudian juga sepertinya semangat kerjaku juga semakin meningkat, selain itu juga sekarang mungkin saja aku lebih peduli dengan penampilan” Jawabnya. Aku hanya mengangguk pelan mendengar ucapannya. Tidak bisa kumungkiri sih jika dia memang cukup banyak berubah daripada Pak Karma yang biasanya aku kenal.
Aku mengenal Pak Karma adalah sosok yang benar-benar cemerlang, memiliki pemikiran yang sangat tidak biasa dan juga jika aku bisa mengatakannya, dia adalah sosok jenius. Tetapi sosok yang jenius seperti dia juga tidak akan digubris jika dia hanya malas-malasan dan tidak mau memperhatikan penampilannya.
“Iya sih, bapak jadi sedikit lebih ada perhatian pada penampilan”