Chapter 6.1: Dunia Nyata
Maria’s POV
18 Agustus 2021
“Kenapa kalian masih di sini? Bukankah sekarang sudah jam pulang?” Tanya seseorang dengan rambut klimis rapi begitu memasuki kelasku. Aku pun menoleh ke arah sumber suara tersebut dan mendapati guruku yang memasuki kelasku sambil membawa rangkaian kunci kelas.
“Ya… Tadi siang saja ketika kita berada di asrama putri disuruh untuk segera menuju kelas, kenapa sekarang ketika saya sudah di kelas diusir menuju asrama putri lagi” Kataku membuat alasan. Memang alasanku terdengar seperti alasan yang bodoh sih, tetapi bodoh amat. Guru yang satu ini masih enak buat diajak bercanda kok sehingga aku masih berani mengeluarkan kelakarku di depan guru yang satu ini.
Namaku Maria, aku sekolah di sebuah sekolah yang menerapkan sistem boarding school. Tempat asalku sangat jauh dari sekolahku. Jika beberapa temanku mungkin saja bisa pulang selama satu minggu sekali, atau paling tidak satu bulan sekali, aku hanya bisa pulang selama satu tahun sekali, yaitu waktu lebaran saja.
Dan terkadang pun aku harus memikirkan hal tersebut dua kali.
“Ya… kan semuanya ada waktunya. Udah, udah, ayo kita pulang. Aku juga sudah ingin untuk pulang ke rumah” Katanya sambil berjalan masuk ke dalam kelas dan mencoba untuk menyeretku keluar dari kelas.
“Ya udah, pulang aja sana” Kataku masih mencoba membalas keseriusannya dengan kelakarku.
“Ya, tapi sebelum pulang aku harus mengunci kelas ini dulu. Kamu memangnya mau dikunci sendirian di sini?” Tanyanya dengan sedikit emosi dan ekspresi kebingungan di wajahnya. Lucu sekali tahu mencari gara-gara dengan guru yang satu ini.
“Sebentar dong pak, kita kan sudah lama gak mengobrol. Masak bapak tidak mau meluangkan waktu sedikit saja untuk mendengarkan curahan hati dari murid bapak yang satu ini” Kataku mengakhiri kelakarku dan kemudian mencoba untuk menarik perhatian guru yang satu ini agar bisa mengobrol denganku.
Nama guru ini adalah Karma, dulu waktu awal tahun pelajaran, dia suka sekali mengajar di kelasku waktu aku masih kelas 10, meskipun waktu itu dia tidak ditugaskan untuk mengajarkan mata pelajaran di kelasku. Tapi, entah karena alasan apa, beliau langsung tidak mau masuk ke dalam kelasku sejak beberapa bulan yang lalu.
Bahkan ketika salah seorang guru sedang kosong, beliau tampaknya juga menghindari untuk masuk ke dalam kelasku.
“Memangnya mau mengobrol apa?” Tanyanya sambil duduk di kursi guru.
Dulu aku sering sekali mengobrol dengan guru ini waktu liburan, dan dia sangat terbuka sekali dengan semua masalah sedang dia hadapi. Dia bisa membicarakan masalah tidak penting yang menurutnya aneh dan juga membicarakan masa lalunya sambil menceritakan hikmah yang dia dapat dari pengalaman tersebut. Tetapi ketika sudah berada di sini, ternyata dia adalah seorang yang sangat pendiam, jarang sekali punya inisiatif untuk membicarakan sesuatu secara mendalam dengan muridnya.
Aku masih belum pernah tahu bagaimana kepribadiannya ketika dia bersama dengan teman-teman sejawatnya, tetapi sejauh yang aku tahu dia selalu saja bekerja dengan laptopnya ketika sedang berada di kantor. Berbeda sekali dengan dirinya saat berada di dunia maya, di dunia nyata dia seperti orang yang anti sosial.
“Menurut bapak, sekolah itu penting tidak sih?” Tanyaku mencoba untuk bertanya tentang sesuatu yang mungkin saja membangkitkan minatnya. Dulu dia pernah berkata tentang tujuan dari pendidikan dan apa sih sebenarnya tugas dari seorang guru, dan bagaimana dia merasa sedikit risi ketika melihat seorang guru yang menuntut muridnya untuk bisa semua mata pelajaran.
Padahal gurunya sendiri pun terkadang tidak bisa semua mata pelajaran, hanya pelajaran tertentu saja.
“Hm… Menarik sih, kenapa tiba-tiba kamu bertanya demikian?” Katanya balik bertanya. Aku pun menghembuskan nafasku dengan nada sebal ketika mendengar hal tersebut. Yang aku butuh kan adalah jawaban, bukan pertanyaan balik.
“Jawab saja dulu kenapa” Kataku dengan nada sebal.
“Lo, bukan seperti itu. Maksudku sekolah itu penting atau tidak tergantung konteks pertanyaannya, kenapa kamu menanyakan hal tersebut. Apakah kamu sudah memiliki pendapat sendiri dan ingin aku membenarkan pendapatmu, atau kamu memang tidak punya pendapat dan ingin mendengar pendapatku untuk memutuskan sesuatu. Dua kasus itu memiliki sudut pandang yang berbeda sehingga jawabannya pun berbeda pula” Jelasnya membenarkan jawabannya sendiri dan tidak menjawab pertanyaanku.
Aku pun terdiam sejenak sambil memikirkan dua kasus yang sudah dibicarakan oleh Pak Karma tadi. Apa motivasiku untuk menanyakan hal ini ya?
“Ya… menurutku sekolah itu tidak begitu penting saja karena yang diajarkan belum tentu bisa digunakan di dunia nyata” Kataku. Guru tersebut tampak mangut-mangut mendengar ucapanku, tetapi dia masih diam sambil menatapku dengan tatapan ingin meminta penjelasan lebih.
“Contohnya, kita belajar persamaan kuadrat untuk matematika gunanya di kehidupan nyata untuk apa?” Kataku mencoba untuk memberikan penguatan terhadap pendapatku.
“Ya aku bisa menjelaskan sedikit jika itu hanya fungsi dari persamaan kuadrat di dunia nyata, hanya saja sekarang yang paling penting adalah apa kamu mengerti apa yang akan terjadi di dunia nyata milikmu?” Tanyanya.
“Ha… Maksudnya?” Tanyaku begitu mendengar ucapan tersebut.
“Kamu bilang bahwa persamaan kuadrat tidak ada gunanya di kehidupan nyata. Sekarang aku bertanya lagi, dari mana kamu tahu bahwa persamaan kuadrat tidak ada gunanya di dunia nyata?” Katanya mengulangi pertanyaannya dengan bahasa yang bisa kupahami.
“Ya, dari dulu aku tidak pernah melihat ibu atau ayahku sedang bekerja sambil mencari x seperti yang sudah dijelaskan oleh guru matematika itu. Kenapa kita harus mempelajarinya jika itu tidak digunakan dalam pekerjaan?” Sanggahku.
“Dan kamu berpikir bahwa dunia nyata itu hanyalah pekerjaan ayah dan ibumu saja?” Tanyanya. Aku pun terkesiap dengan sanggahan yang cukup menohok tersebut.
“Teman-temanku juga sepertinya tidak ada yang menggunakan persamaan kuadrat untuk bekerja” Kataku membela diriku.
“Dan kamu masih berpikir bahwa dunia nyata itu hanyalah teman-temanmu saja?” Tanyanya kembali melontarkan pertanyaan yang sama.
“La menurut bapak dunia nyata itu yang seperti apa?” Aku pun balik bertanya dengan nada yang sedikit tegas. Kenapa tiba-tiba menanyakan hal aneh seperti ini sih? Apa jangan-jangan dia sudah lama berada di dunia maya sehingga dia sudah tidak mengerti apa itu dunia nyata dan kemudian menanyakan kepadaku. Guru tersebut tampak mengangkat bahunya mendengar ucapanku.
“Entah, dunia nyata setiap orang kan berbeda-beda” Katanya.
Ha… Apa lagi sih maksudnya guru yang satu ini?
“Pak, tolong deh ya. Pertanyaan saya tentang sekolah tadi sepertinya masih belum bisa terjawab, tetapi kenapa bapak malah mengalihkan pembicaraan kepada apa itu dunia nyata? Apa bapak masih belum bisa hidup di dunia nyata?” Tanyaku. Aku sudah berpengalaman untuk mengobrol dengan guru yang satu ini dan sudut pandangnya yang begitu ajaib sampai-sampai orang normal sekalipun mungkin saja tidak akan mengerti apa yang dibicarakan oleh guru ini.
“Ya, itu jawabannya. Kamu bertanya apakah sekolah itu penting? Itu tergantung pada dunia nyata mana yang kamu pilih. Jika kamu melihat bahwa dunia nyata yang dihadapi orang tua dan teman-temanmu tidak memerlukan persamaan kuadrat, dan kamu memilih untuk hidup dalam dunia nyata seperti itu, ya tentu saja sekolah itu tidak penting” Katanya menjelaskan.
Wow… Aku pun hanya bisa terdiam sejenak mendengar pendapat tersebut. Mungkin baru kali ini aku mendengar penjelasan guru yang begitu logis dan bisa diterima daripada hanya ucapan ‘sekolah itu penting buat masa depan’ atau argumen ‘sekolah membantu kita untuk mengasah keterampilan kita’ dan argumen lain yang intinya ‘udah deh, terima saja. Kita memang harus sekolah, lihat orang dulu yang tidak sekolah, pasti hidupnya susah’.
“Masalahnya sekarang adalah, dunia nyata mana yang ingin kau pilih?” Katanya melanjutkan.
“Jika kau mau memilih dunia nyata di mana dirimu sedang membuat program komputer, maka kau akan menjumpai banyak persamaan kuadrat di sana, tanpa ada tetek bengek Fisika dan Kimia. Kau ingin menjadi seorang arsitek, kau akan menjumpai banyak trigonometri di sana. Kau ingin dunia nyata di mana dirimu berjualan sayur, kau akan menjumpai biologi di sana” Jelasnya panjang lebar.
“Sekarang aku bertanya, dunia nyata mana yang ingin kau pilih?” Aku pun kembali terdiam dengan pertanyaan yang terlalu tiba-tiba tersebut. Apa aku akan memilih dunia nyata seperti orang tuaku? Atau aku ingin memilih dunia nyata yang lain?
“Entah” Jawabku terus terang. Seulas senyuman geli tampak tersungging di bibir guru tersebut, seolah menertawakan diriku yang terkesan kalah berdebat dengannya.
“Oleh karena itu kamu sekolah. Di sini kamu bisa melihat banyak sekali dunia nyata yang bisa kamu pilih dengan segala macam suka dan dukanya. Jika kamu tidak sekolah, mungkin saja yang kamu lihat hanya dunia nyata dari orang tuamu dan juga teman-temanmu saja” Katanya sambil berdiri dari kursi guru dan kemudian mengisyaratkan padaku untuk segera berdiri dan meninggalkan kelas.
“Kenapa terburu-buru begitu sih, Pak” Kataku sambil memasang wajah cemberut dan kemudian berdiri dari tempat dudukku.
“Aku harus pulang sebelum hari gelap” Jawabnya singkat saja. Alasan yang bagus sekali, padahal biasanya dia juga sering kali pulang larut malam karena ingin bersenda gurau dengan beberapa murid yang ada di sini.
“Biasanya juga malam-malam pulangnya” Sahutku ketika sudah berada di luar kelas sambil melihat dirinya yang sedang mengunci pintu kelas.
“Aku bawa sepeda, dan saat gelap sepedaku pasti tidak terlihat karena tidak ada lampunya”