Chapter 5.2: Cemburu?

Rose’s POV

13 Agustus 2021

“Astagfirullah…” Suara pekikan pelan terdengar setelah tiba-tiba pandangan kami semua menggelap di tengah-tengah salat Isya waktu itu.

Padahal sedang salat, masa iya teriak begitu hanya karena pemadaman listrik.

Suara surat pendek yang sebelumnya menggelegar melalui pengeras suara di dalam masjid pun langsung mengecil, bahkan hanya terdengar sayup-sayup di telingaku karena aku berdiri di barisan salat paling belakang di masjid yang sangat luas ini. Entah mengapa ketika suasana gelap seperti ini, suara-suara yang tadinya tidak terdengar menjadi semakin lama semakin jelas.

Aku bisa mendengar suara anak yang sedang menjerit-jerit karena takut kegelapan di kompleks perumahan seberang. Juga suara angin yang menderu seolah sedang terjadi badai tornado di luar masjid. Atau mungkin suara desahan nafas para jamaah salat isya yang tiba-tiba saja terdengar sangat berat.

Namaku Rose, aku adalah salah satu santri dari sebuah sekolah yang menerapkan sistem boarding school. Jadi tak usah heran ketika aku menceritakan sesuatu seperti saat aku salat di sebuah masjid yang sangat besar sehingga aku tidak bisa mendengar suara imamnya tanpa pengeras suara. Ini semua karena seluruh siswa dan siswi yang bersekolah di sini harus bertempat tinggal di asrama. So, bisa dibayangkan jika dua ratus lima puluh santri sedang melakukan salat jamaah bersama-sama di sebuah masjid.

Tentu saja tidak cukup dong.

Pasti ada saja anak-anak yang terlambat untuk melakukan salat jamaah sehingga harus mendirikan mushola sendiri secara diam-diam di kamarnya. Apalagi para santri putra yang asramanya terpisah sejauh dua ratus meter dari masjid, pasti sangat merepotkan sekali jika harus berlarian setelah mendengar azan di masjid yang lumayan jauh tersebut.

“Allahuakbar…” Tanpa aku sadari, tampaknya imam sudah selesai membaca surat pendeknya dan sudah ruku’.

“Allahuakbar” Suara jamaah salat terdengar lebih kompak dan juga menggema ketika aku tidak bisa melihat apa-apa. Empat rakaat berlangsung dengan sedikit lebih cepat. Entah karena imam salat juga merasakan bahwa semakin lama suasana menjadi semakin tidak kondusif atau memang hanya perasaanku saja. Suara riuh dan ramai dari para jamaah langsung pecah hanya sebentar setelah imam mengucapkan salam.

Tidak seperti yang lainnya, aku masih terdiam setelah imam mengucapkan salam karena aku duduk di antara para ibu-ibu yang sepertinya sedang mengkhawatirkan anak-anaknya yang berlarian ke sana kemari dalam keadaan gelap seperti ini. Teman-temanku yang lain juga tampaknya masih terdiam di tempatnya menghadapi ibu-ibu yang lagi panik seperti sekarang ini.

Tetapi aku merasa agak aneh dengan salah satu ibu-ibu yang berada di depanku. Dia mengenakan mukena berwarna putih sambil duduk terdiam agak jauh di depanku. Posenya seolah sedang khusuk berdoa, meskipun lengannya tampak menahan beban seperti sedang menggendong sesuatu. Mungkin saja dia menggendong anaknya.

Rambutnya terurai panjang ke bawah…

Tunggu sebentar, jika dia telah melaksanakan salat, kenapa dia tidak memakai kerudung.

Bulu kudukku langsung merinding begitu memikirkan hal tersebut.

-0-

14 Agustus 2021

“Sore kalian semua, kali ini guru bahasa Indonesia tidak masuk jadi…”

“Yeeeeee…” Sorak-sorai langsung terdengar riuh dari dalam kelas kami meskipun guru yang sekarang berada di depan ini masih belum selesai mengucapkan salam dan juga ucapannya barusan.

“Bentar, bentar, tenang dulu. Jadi akan ada tugas bahasa Indonesia untuk sore ini” Kata guru yang berada di depan dengan nada yang sabar. Dia pun mengambil spidol dari saku bajunya dan kemudian menulis sebuah perintah untuk mengerjakan soal di buku cetak.

Nama dari guru ini adalah Karma, aku masih belum mengenalnya karena selama setahun aku sekolah di sini, dia jarang sekali memasuki kelasku. Jelas saja, kan dia adalah guru bidang keahlian di SMK sehingga untuk urusan apa juga dia harus memasuki kelas 8 yang pelajarannya mungkin tidak serumit pelajaran yang berada di SMK.

Tapi akhir-akhir ini, semenjak kita semua memasuki kelas 8, dia jadi lebih sering masuk kelas ini. Dia mulai memasuki kelas kami saat waktu pelajaran Prakarya dan sedikit membantu kami untuk menghias kelas. Setelah itu dia cukup dekat dengan ketua kelas kami dan gosipnya juga dia suka sama salah seorang temanku yang berada di kelas ini. Gak salah juga sih jika dia kemudian langsung sering memasuki kelas kami hanya untuk menemui orang yang dia suka.

Aku belum terlalu mengenalnya karena aku sendiri juga bukan merupakan anak yang cukup ramai di kelas, bahkan mungkin aku cenderung pendiam sehingga aku tidak begitu dekat dengan guru, apalagi dengan guru yang aku tidak mengerti bagaimana sikap dan sifatnya. Yang aku tahu hanyalah guru yang satu ini jarang banget marah-marah, bahkan ketika suasana kelas seperti kapal pecah setelah dihantam tsunami, guru yang satu ini hanya bisa duduk di depan kelas sambil tersenyum geli bahkan sesekali tertawa. Aku juga tidak mengerti kenapa dia tertawa seperti itu ketika melihat murid-muridnya bergurau dengan berlebihan.

Mungkin saja dia menganggap kami semua seperti tontonan.

Seperti sekarang, setelah dia menuliskan tugas bahasa Indonesia di papan tulis, dia langsung duduk di kursi guru sambil menatap kami semua dengan tatapan aneh yang sulit dijelaskan. Beberapa kali tampak bibirnya menyunggingkan seulas senyuman misterius yang tidak bisa aku pahami, bahkan aku ragu jika teman-temanku juga paham arti dari senyuman anehnya.

Keheningan dan senyuman aneh itu tampaknya tidak terlalu bertahan lama di kelasku. Beberapa orang tampaknya merasa risi dan juga bosan jika harus berdiam diri tanpa melakukan apa-apa, sebenarnya bukan hanya beberapa orang saja sih, aku pun merasa risi juga jika aku harus berdiam diri dan membaca banyak sekali tulisan dalam soal ini sendirian.

So, aku pun mulai melakukan sesuatu agar aku tidak mati kebosanan di tempat dudukku.

Kulihat beberapa temanku tampak mondar-mandir di dalam kelas, tanpa merasa segan atau pun tidak enak dengan pak karma yang masih duduk di depan kelas mengawasi kami dengan tatapan dan senyum anehnya. Aku pun ikut berdiri dari tempat dudukku dan mulai membuat ulah dengan beberapa teman yang masih berdiam diri di tempat duduknya. Memang aku sedikit merasa geli ketika aku melihat ada seseorang yang masih betah di tempat duduknya ketika kelas sedang ramai.

Kulihat temanku, Intan, yang tampaknya masih tenang saja berada di tepi jendela sambil melihat ke luar di mana anak kelas sebelah sedang melaksanakan olahraga. Mungkin aku bisa menggodanya, aku pun berjalan pelan ke arah Intan dan kemudian mengambil sesuatu dari kotak pensilnya dengan berlari.

“Aku pinjam bentar ya” Seruku sambil tertawa jahil ke arah Intan yang sepertinya sedang kaget karena seranganku baru saja. Gadis itu pun berlari mengejarku yang sedang membawa spidol sementara aku terus berlari menjauh dari pengejarannya sambil tertawa kecil. Sesampainya di tempat dudukku, aku pun duduk di kursiku dan kemudian meletakkan spidol tersebut di atas mejaku sambil menahan tawa geli. Gadis itu pun tiba di depan mejaku dan kemudian langsung menyambar spidol tersebut. Dengan ekspresi cukup riang aku pun melihat ke arah Intan yang… Eh…

Terlihat sangat marah.

Apa aku berbuat sesuatu yang salah?

“Apa maksudmu mengambil spidolku, ha?” Katanya sambil melotot ke arahku. Kenapa dia menjadi marah hanya karena aku mengambil spidolnya? Aku pun melirik ke arah spidolnya dan menemukan alasan kenapa dia marah.

“Aku… aku kan cuma bercanda” Kataku dengan gugup. Kulihat Pak Karma tampak hanya melihat kami berdua dengan tatapan heran. Meskipun begitu, aku masih bisa melihat bahwa matanya masih menyiratkan sebuah kelucuan. Memangnya dia pikir kita topeng monyet apa? Keheningan menyelimuti kelas kami ketika Intan sedang menatapku dengan tatapan tajam.

“Ada apaan sih?” Akhirnya pak guru yang satu ini berdiri juga dari singgasananya. Dia pun berjalan dengan langkah yang sedikit perlahan menuju ke arah bangkuku untuk mencoba menyelesaikan masalah. Aku pun melirik ke arah Intan yang tampaknya juga menolehkan kepalanya ke arah pak guru tersebut sebelum akhirnya melengos pergi.

Kualihkan kembali pandanganku kepada pak guru yang tiba-tiba saja berhenti begitu melihat Intan melengos pergi tersebut. Matanya tampak melihat ke arah Intan yang masih berjalan pergi kembali ke tempat duduknya. Pak Karma pun berjalan menuju ke arahku dan kemudian sedikit menundukkan kepalanya.

“Memangnya ada apa sih?” Tanyanya dengan nada penasaran.

“Hm… Aku mengambil spidolnya untuk menggodanya, tetapi sepertinya aku mengambil spidol yang salah” Kataku dengan nada sedikit bergetar. Aku masih bisa merasakan pandangan tajam dari Intan yang menusuk tepat di depanku. Pak Karma pun mengangkat sebelah alisnya ketika aku mengucapkan hal tersebut.

“Salah seperti apa?” Tanyanya.

“Oh… yang ada tulisan itu ya…” Celetuk Alice dari bangku belakang. Aku hanya mengangguk pelan kepada Alice yang menyahut dari belakang.

“Pak, pak, pak… Intan itu suka sama anak kelas sebelah yang namanya Am…” Mentari malah menimpali sambil menyebutkan nama yang mungkin saja akan menjadikan masalah di sini sehingga aku tidak berani menyebutkannya.

“Iya, pak”

Ya… Inilah rumor yang aku sebutkan tadi. Aku tidak tahu siapa yang menyebarkan rumor aneh seperti ini, tetapi ada yang merasa bahwa Pak Karma menyukai Intan sehingga dia berkali-kali memasuki kelas kami hanya untuk menengok Intan saja.

Sebenarnya rumor yang satu ini bukannya tak berdasar sih. Aku juga beberapa kali mendengar cerita tentang Pak Karma yang memberikan Intan coklat, buku atau hanya sesederhana kesempatan untuk mengambil uang yang biasanya ribet sehingga aku masih bisa mengatakan bahwa rumor ini masuk akal. Oleh karena itu juga aku tidak berani menyebutkan nama orang yang tertulis di spidol yang baru saja aku copet tersebut.

Tapi ternyata, ada juga yang sudah menyahut tanpa pikir panjang.

Suasana kelas kembali ribut dengan topik yang berbeda. Kali ini masalah Intan dan juga Pak Karma yang diledek habis-habisan. Tidak terdengar suara pembelaan dari dua orang tersebut meskipun seluruh kelas sedang meledek mereka habis-habisan.

“Tentu saja aku lebih memilih si Amir dong”

Suara ini… Ini suara Intan yang terdengar sangat jelas sekali sehingga membuat seluruh kelas terdiam. Keheningan yang aneh kembali menyelimuti kelas kami setelah Intan mengucapkan pernyataan tersebut.

“Aduh… Hatinya Pak Karma pasti langsung… potek nih” Sahut salah seorang temanku dengan tidak tahu malunya. Aku pun kembali mengalihkan pandanganku kepada guru yang sedang berdiri di depan kelas sambil tersenyum kecil tersebut.

Apa benar itu yang dirasakannya sekarang? Selama ini pak guru yang satu ini hanya memiliki dua wajah. Wajah yang serius ketika bekerja dan juga wajah tersenyum aneh yang memiliki banyak sekali arti. Jika kalian melihatnya sedang tersenyum, itu bukan berarti dia sedang gembira. Saat sedih, bingung, marah, bahkan saat terkejut pun senyumannya sama saja.

Apa yang saat ini dia rasakan sekarang?

“Anak-anak, kalian kerjakan dulu ya. Aku sudah lama tidak bermain bola, jadi ingin main bola sekarang” Kata Pak Karma sambil membuka pintu keluar menuju lapangan futsal. Aku hanya bisa melihatnya berjalan pergi tanpa menoleh kembali menuju ke arah lapangan futsal.

Apa dia cemburu? Sakit hati? Sedih? Putus asa?

Entah. Tapi aku yakin seluruh teman sekelasku memiliki persangkaan yang sama kepadanya.