Chapter 5.1: Bodoh Amat

Rachel’s POV

2 Agustus 2021

“Ambil saja buku tabungannya dulu, lalu kemudian tulis keluar harganya berapa” Suara dari salah satu guru yang berada di sampingku terdengar lelah dan juga kesal dengan cowok berambut cepak yang sedang membawa buku tabungan berwarna merah mudah di depanku.

“Pak, nama…”

“Sekarang tanggal berapa pak?” Belum sempat aku melanjutkan pertanyaanku, tetapi si aneh ini langsung saja menyela omonganku untuk menanyakan tanggal kepada pak guru yang berada di depannya.

He… Kamu bisa melihat ada kalender di samping kananmu dan menuliskannya di buku tabungan. Kenapa kau malah menyela ucapanku yang lebih penting? Namamu kan tidak tertulis di jidatmu sehingga aku tidak bisa menebaknya.

“Tanggal 2 Agustus”

Dan kenapa juga guru yang satu ini malah menjawab pertanyaan bodoh dari siswa di depanku ini, bikin aku makin sebal saja sih. Guru yang satu ini pasti selalu begitu, entah kenapa dia tidak pernah memperhatikanku dengan alasan yang tidak aku ketahui.

Namaku Rachel, aku sekolah di sebuah sekolah yang menerapkan sistem yang disebut dengan boarding school. Sekarang aku sudah menjadi super senior, yang artinya kakak kelas yang paling tua. Hampir tiga tahun aku berada di sekolah ini sehingga bisa kurasakan sekarang kepercayaan diriku mencapai puncaknya.

Tidak, tidak, tidak, bukan kepercayaan diri terhadap kemampuan akademis maupun kemampuan religius dan akhlak milikku sih, tetapi bisa dibilang kepercayaan diri terhadap komunikasi dalam diriku. Bahkan jika aku baru saja mengenal kalian, aku akan menceritakan hampir semua hal yang aku rasakan tentang apa pun.

Aku bisa menceritakan tentang temanku yang selalu dan selalu melanggar peraturan, aku bisa menceritakan tentang pelajaran yang begitu membosankan, bahkan aku bisa saja menceritakan tentang guru yang menyebalkan di depan guru tersebut.

Seperti aku menceritakan salah satu guru yang sedang berada di depanku kali ini kepada kalian. Namanya adalah Karma, dia adalah wali kelasku tahun lalu. Orangnya benar-benar bodoh amat dengan semua hal. Kalian pasti akan langsung tahu ketika kalian melihat penampilannya. Warna bajunya jarang cocok, rambutnya hampir selalu dicukur dengan panjang yang sama sehingga terlihat berantakan, jika sudah fokus dengan satu kerjaan dia akan mengabaikan semuanya.

Pernah dulu aku merasa sedikit sakit hati dengan guru yang satu ini karena aku merasa bahwa dia bersikap pilih kasih dengan salah seorang temanku sehingga aku mendiamkannya untuk beberapa hari. Dan kalian tahu apa reaksinya? Tidak ada. Dia mengajar seperti biasa, kerja di kantor seperti biasa, dan bercanda dengan temanku juga seperti biasa (hanya saja aku tidak diajak bercanda). Sikap bodoh amatnya benar-benar melampaui batas sehingga dia tidak pernah merasa bersalah telah menyakiti hatiku dengan sikapnya.

Dia juga pelupa, dalam konteks negatif maupun positif. Jika kau memiliki masalah dengan guru yang satu ini abaikan saja, besok dia pasti akan melupakan masalah tersebut dan kembali dengan rutinitas pekerjaannya. Tetapi yang paling menyebalkan adalah ketika dia melupakan janjinya dan dengan wajah tidak bersalah dia hanya bisa bilang ‘oh, iya… aku lupa’.

Pengen nonjok rasanya.

Seperti saat ini, dia tampaknya masih mengawasi cowok yang sedang menuliskan buku tabungan di depanku dan melupakanku yang akan menuliskan bukti pembelian buku dengan menggunakan uang tabungan. Aku pun hanya duduk diam sambil mengetuk-ngetukkan penaku di atas meja kaca, menunggu dia sadar dan peka bahwa aku sama sekali tidak tahu siapa yang mengambil buku tabungan kali ini.

Mata yang terlihat lelah itu tampak melirik sebentar ke arahku sebelum akhirnya membuat ekspresi heran dengan mengangkat sebelah alisnya.

“Sudah kau buatkan bukti pembeliannya?” Tanyanya. Kenapa yang keluar malah tuduhan, bukan kepekaan.

“Belum. Kan aku belum tahu nama dan nominalnya” Kataku dengan nada sebal. Ini guru kenapa bikin sebal terus seperti ini sih. Dia pun memasang wajah terkejut ketika mendengar ucapanku tersebut.

“Oh, iya. Maaf, maaf. Ini Doni mau beli seharga dua ratus ribu” Katanya dengan wajah yang sedikit panik, meskipun aku melihat tidak ada penyesalan di wajah tersebut. Ya… nasiblah punya guru yang tidak begitu peka seperti ini. Aku pun menuliskan nama dan juga nominal pembelian dari Doni dan kemudian menyerahkan buktinya ke cowok berambut cepak tersebut.

“Berikutnya…” Seru Pak Karma setelah menerima buku tabungan dari Doni.

Seorang cewek berjalan masuk dengan gaya yang penuh percaya diri. Aku tidak mengenal cewek yang satu ini sehingga aku menebak pasti dia adalah siswa SMP. Mungkin dia kelas 8 karena aku belum mengenal semua siswi kelas 8. Mereka semua bisa dibilang masih bocah sehingga terkadang mereka menganggap serius apa yang aku katakan, meskipun sebenarnya aku memang mengatakan sesuatu dengan serius sih. Tetapi perasaan mereka masih terlalu bocah sehingga mudah tersinggung dan kadang malah menangis ketika aku mengatakan sesuatu untuk membuat mereka menjadi lebih baik.

Gadis kecil itu pun berdiri di depan mejaku sambil asyik melihat-lihat buku tabungan untuk melakukan pembelian. Aku pun menoleh ke arah Pak Karma untuk menanyakan siapa nama dari gadis kecil ini, tetapi tampaknya beliau juga masih belum tahu nama dari gadis ini. Terlihat jelas dia masih menunggu gadis di depannya ini untuk selesai mencari buku tabungannya sebelum dia menanyakan siapa nama dari gadis tersebut. Maklum sih, Pak Karma memiliki jam mengajar yang cukup banyak di kelasku sehingga dia tidak sempat untuk memasuki kelas lainnya.

“Namanya siapa?” Kata Pak Karma dengan suara pelan.

Tidak ada jawaban. Gadis itu masih tetap asyik mencari buku tabungannya yang belum ketemu sampai dengan sekarang.

“He… siapa namanya?” Kali ini Pak Karma tampak tidak sabar untuk mengetahui nama dari siswi yang berada di depannya ini dan berbicara lebih keras untuk menarik perhatian siswi tersebut.

“Intan” Jawabnya singkat saja.

Ah… Intan. Aku pun menuliskan nama siswi tersebut di tempat bukti pembelian yang aku tulis. Kemudian aku pun mengangkat kepalaku untuk menanyakan berapa nominal transaksi dari siswi ini.

“Berapa nominalnya?”

Tidak ada jawaban. Guru di depanku tampak berdiri mematung sambil melihat ke arah siswi yang masih menulis di buku tabungannya tersebut. Kenapa dia bengong seperti itu?

“Pak, nominalnya…” Kataku dengan suara yang sedikit lebih keras untuk menarik perhatian dari guru tersebut.

“Eh… Tujuh puluh ribu” Katanya sambil melihat ke arah kertas yang dibawanya sejak tadi untuk melihat rekap pembelian yang dilakukan oleh siswa dan siswi yang membeli buku. Aku pun menuliskan nominal tersebut pada bukti transaksi yang berada di depanku. Kemudian aku pun menyerahkan bukti tersebut kepada Intan sebelum akhirnya gadis tersebut melenggang pergi meninggalkan kantor. Setelah itu, aku pun menuliskan nomor bukti pembayaran berikutnya.

Tapi kenapa tidak ada yang datang?

Aku pun mengangkat kepalaku untuk melihat apakah memang sudah tidak ada yang masuk ke dalam kantor lagi untuk membayar buku mereka, tetapi yang kulihat hanyalah Pak Karma yang masih saja bengong melihat ke arah pintu keluar. Kulihat sebuah bayangan mengintip di balik pintu tersebut yang sepertinya adalah murid yang ingin membayar juga.

Kenapa guru yang satu ini bengong aja sih?

“Berikutnya…” Seruku tertahan untuk menyuruh murid yang mengintip itu agar dia segera masuk ke dalam kantor. Tampaknya seruanku juga membangunkan guru yang berada di depanku dari lamunannya sehingga dia tampak sedikit terkejut dengan suaraku tersebut.

“Hm… Berikutnya” Katanya mengikuti ucapanku tadi.

Ada apa dengan guru yang satu ini sih?