Epilog 4.3: Stereotip
Karma’s POV
31 Juli 2021
“Mau apa kamu ke sini, Dit?” Tanya kepala sekolah kepada Dita yang masuk dengan ekspresi malu-malu ke dalam kantor. Hari ini memang tidak ada pelayanan kantor sehingga aku pun mengerjakan tugas sampinganku sebagai seorang pengajar, yaitu mengurus masalah administrasi pengajaranku. Maksudku segala macam tetek bengek tentang rencana pembelajaran, silabus, dan juga beberapa evaluasi setiap bab yang memang harus dipersiapkan sebelum tahun ajaran baru.
Dan sekarang adalah tahun ajaran baru.
Terkadang aku merasa heran saja sih, kenapa para guru jadi lebih disibukkan dengan berbagai macam tetek bengek seperti ini daripada harus belajar untuk terus menjadi lebih baik dalam pengajarannya dan lain sebagainya. Padahal waktu yang dihabiskan untuk membuat seluruh keperluan administrasi ini benar-benar tidak sedikit. Selain itu kebanyakan guru yang lain pun juga hanya menyalin berbagai macam hal yang mereka temukan di internet, tanpa membaca isinya karena mereka merasa sudah menghafal semuanya di luar kepala.
“Mau ambil uang Pak” Jawab Dita sambil duduk di depan meja pelayanan.
La… Kan aku sudah bilang bahwa hari ini tidak ada pelayanan kantor, termasuk acara pengambilan uang, Kenapa dia tidak ke sini kemarin saja sih?
“Kan pelayanan pengambilan uang itu kemarin” Sahutku.
“Mau buat apa sih?” Tanya kepala sekolah kepada Dita. Aku pun hanya bisa terdiam mendengar kepala sekolah memotong pembicaraanku tadi. Aku memang terkadang agak kaku dengan aturan. Jika kalian tidak bisa mengambilnya waktu jadwal, maka kalian harus mengambilnya minggu depan. Tidak ada alasan apa pun yang bisa membujukku untuk melakukan kecurangan pada aturan itu.
Tetapi entah mengapa kepala sekolah menganggapku terlalu longgar pada aturan.
“Ya buat keperluan dong pak” Kata Dita sambil tersenyum manja.
Biarlah, biar diurus dulu sama kepala sekolah masalah aturan ini. Kalo aku mengizinkan pasti nanti akan ribut jadinya, tapi jika kepala sekolah yang mengizinkan mungkin keributan ini bisa sedikit diredam.
“Coba tanya dulu sama Pak Karma” Ucapan kepala sekolah hanya bisa membuatku menghela nafas pelan ketika beliau melempar keputusannya kepadaku. Aku masih belum mengerti apa motivasi dan juga dorongan kepala sekolah melempar keputusannya kepadaku, tetapi mungkin saja aku bisa membuat sedikit prasangka.
Rumor sudah beredar bahwa aku memiliki perasaan dengan salah satu murid favoritku ini. Dan memang benar, dia bisa dibilang mendapatkan tempat yang cukup istimewa di hatiku. Dia cantik, pintar dan mudah dalam menangkap pelajaran. Hanya saja akhir-akhir ini aku merasa sedikit tidak enak dengannya karena dia terus diledek dan digoda, bahkan oleh kepala sekolah sekalipun sehingga aku memutuskan untuk sedikit menjaga jarak.
Dan dia juga tampaknya memutuskan untuk demikian.
“Keperluan apa sih?” Tanyaku mencoba untuk berdiplomasi.
“Ya… Keperluan pak” Jawabnya masih dengan nada manja.
Aku pun hanya mendesahkan nafasku pelan mendengar ucapannya. Aku sendiri tidak sanggup untuk berargumen ketika dihadapkan dengan cewek yang satu ini karena aku masih percaya padanya. Aku yakin dia tidak akan menyalahgunakan uang ini untuk sesuatu yang lain, dan juga aku yakin jika dia sudah mengerti aturannya dan tidak akan mengulanginya lagi.
Tapi aturan tetaplah aturan…
“Ditunda besok bisa gak sih? Sekarang masih cukup repot dengan administrasi pembelajaran” Kataku. Gadis cantik itu pun mengangguk pelan mendengar jawaban dariku. Aku pun kembali melanjutkan tugas administrasi milikku dan mengalihkan pandanganku kembali ke arah laptopku.
“Nah, udah kan? Kenapa belum keluar? Ada perlu apa lagi?” Tanya kepala sekolah.
“Gabut pak di kamar. Memangnya di sini tidak ada yang bisa dibantu kah?” Tanya Dita sambil duduk di depan meja pelayanan lagi.
“Tanya aja sama Pak Karma” Kata kepala sekolah sambil tersenyum menggoda.
“Masih belum ada kalo sekarang, kalo nanti mungkin aku butuh bantuan akan aku panggil” Sahutku cepat saja agar aku bisa kembali berkonsentrasi dengan pekerjaanku sekarang. Tapi tampaknya usahaku tidak membuahkan hasil karena gadis cantik itu sekarang malah bermain-main dengan buku tabungan yang berserakan di sana sambil melihat-lihat berapa jumlah uang saku dari teman-temannya. dan entah mengapa aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain kembali berusaha fokus dengan pekerjaanku.
“He… kamu kenal dengan Doni ini gak?” Tanyanya kepada teman yang berada di sebelahnya.
Oh, iya aku benar-benar melupakannya. Dita tidak sendirian menuju ke kantor, tetapi bersama dengan teman kelas 12 nya yang sekarang sedang diam terduduk di sebelahnya. Mungkin saja memang mereka berdua sedikit gabut, jadi aku akan memberikan mereka tugas yang banyak lain kali.
“Kenapa memang dengan Doni ini? Dia anak baru kan?” Tanya teman yang berada di sebelahnya tersebut. Dita pun membuka tabungan dari Doni dan kemudian memperlihatkan saldonya kepada teman yang berada di sebelahnya.
“Gak heran sih jika saldonya segini. Orang dia biasanya juga memakai jam tangan Rolex”
-0-
“Harusnya kamu tuh ganti baju dulu sebelum tidur, kan jadi kusut gini bajunya kalo kamu pakai tidur. Dan juga, apa kamu gak bisa sedikit lebih rapi sedikit. Paling tidak meskipun wajah tidak mendukung kamu harus tampil rapi. Guru kok berantakan” Omel ibuku ketika aku sedang merebahkan diri di atas tempat tidurku. Aku pun hanya bisa memutar bola mataku pelan mendengar ucapan dari ibuku.
Aku benci banget dengan yang namanya stereotip seperti itu. Maksudku, kenapa guru harus bisa menjadi seseorang yang rapi? Bukankah yang paling penting dari guru itu adalah apa yang ada di dalam kepalanya?
Percuma juga seorang guru yang ganteng dan juga rapi tapi cara mengajarnya seperti sampah. Itu kan menghilangkan esensi dari seorang guru yang harusnya bisa mengajarkan sesuatu yang orang lain harus tahu.
Banyak sekali kehidupan kita yang sepertinya dikendalikan oleh stereotip seperti itu. Semisal orang yang membawa mobil adalah orang kaya, padahal keterampilan membawa mobilnya sampah, dan terkadang surat izin mengemudinya hasil menyuap petugas. Orang yang memakai jam tangan adalah orang keren, padahal terkadang jamnya itu mati dan tidak bisa menunjukkan waktu.
Kenapa orang bisa dikendalikan dengan stereotip seperti itu sih? Dan mereka semua marah-marah ketika tahu bahwa ternyata dugaan mereka salah semua.
Pernahkah kalian mendengar yang namanya Halo Effect? Ini adalah sebuah bias di mana kemampuan seseorang biasanya dinilai dari penampilannya. Dan kemudian saat kita mengetahui kemampuan dia yang sebenarnya, kita merasa ditipu, dibodohi dan bahkan merasa digendam. Padahal kita sendiri yang menipu diri kita sendiri dengan mempercayai kemampuan seseorang hanya dari penampilannya.
Dasar bodoh.