Epilog 2.3: Teman dan Tujuan
Karma’s POV
01 Juli 2021
“Dan, akhirnya tahun ajaran kali ini sudah selesai” Kataku sambil melempar tas kecilku ke atas ranjangku dan kemudian berjalan menuju dapur untuk memberikan kabar gembira kepada ibuku.
Ya… kabar gembira bahwa aku mendapatkan libur untuk beberapa hari ke depan.
Entah ibuku akan menganggap itu sebagai kabar gembira atau malah sebagai kabar yang buruk karena pasti aku tidak akan mendapatkan gaji penuh sebulan ini. Selain itu, sepertinya ketika di rumah aku pun tidak memiliki kegiatan yang berarti karena aku lebih mementingkan hiburan daripada harus melakukan sesuatu yang kata orang wajib untuk kita lakukan.
“Oh begitu, baguslah. Besok tetangga sebelah ada hajatan sehingga kamu bisa bantu-bantu begitu saat ada yang kerepotan” Kata Ibuku. Sedikit rasa penyesalan muncul dari hatiku setelah aku mendengar apa rencana ibuku. Aku sebenarnya sudah memiliki rencana untuk keluar ke rumah beberapa orang teman untuk bisa kembali bercerita dengan mereka, sekaligus juga menjauhkan diriku dari rumah yang menurutku tidak produktif seperti ini.
Aku memang suka sekali bermain game, dan aku yakin bahwa aku bermain game dengan suatu alasan yang mungkin saja bisa dibenarkan. Aku bisa menjawab apa yang kalian tanyakan padaku soal manfaat dari game yang sedang aku mainkan dengan filosofiku sendiri, tetapi tetap saja bermain game merupakan sesuatu yang membuang-buang waktu saat berada di rumah.
Dan aku tidak suka ketika orang lain melihatku membuang-buang waktu.
Bahkan saat membaca buku pun aku masih dianggap tidak produktif.
Omelan demi omelan akan segera keluar ketika ibuku melihatku membuang-buang waktu sehingga aku harus memaksa diriku untuk tetap produktif dan terlihat sedang melakukan suatu pekerjaan. Dan suatu pekerjaan bagi ibuku adalah sesuatu yang bisa menggerakkan dunia, bukan hanya apa yang berada di dalam pikiran.
Tetapi, bagaimana kita bisa mengetahui bahwa pekerjaan kita ini pada akhirnya akan sia-sia? Apa sih yang sebenarnya menjadi hal paling penting dalam bekerja?
Menanyakan hal tersebut juga termasuk buang-buang waktu sehingga aku tidak bisa memuaskan rasa ingin tahuku tentang bekerja dan hanya bisa terus menerus bersandiwara bahwa aku sedang bekerja hanya untuk menghindari omelan ibuku.
Terdengar bodoh memang.
Aku pun kembali berjalan menuju ke kamarku dengan langkah gontai seperti orang yang sedang kelelahan setelah bekerja, meskipun sebenarnya dalam hatiku aku masih merasa sedikit bersemangat setelah apa yang terjadi tadi.
Masih ingat dengan surat yang sudah kubuat secepat kilat kemarin? Aku sudah menyerahkannya kepada Dita lewat salah seorang teman sekamarnya yang aku percaya. Aku tidak tahu dan tidak peduli bagaimana dia menyampaikan surat dan buku catatan tersebut kepada Dita, tetapi aku masih bisa melihat perubahannya saat aku akan pulang menuju rumah.
Awalnya aku memang sedikit sebal dengan gadis itu. Aku sudah menyiapkan cukup banyak materi yang menurutku bisa menumbuhkan inspirasi yang cukup untuk ukuran anak kelas 12 dan menyampaikannya dengan cara yang menurutku juga sudah cukup menyenangkan sekaligus sangat menumbuhkan semangat. Beberapa dari mereka mungkin saja bisa dibilang mendengarkan, tetapi aku masih belum tahu apakah kata-kataku berhasil masuk ke dalam hati mereka atau hanya sebagai pemanis bibir saja.
Tapi kalian tahu apa yang dilakukan oleh Dita?
Dia tertidur.
Ya… Aku tidak salah ketik, dan kalian juga tidak salah membaca, dia tertidur saat mendengarkan apa yang aku jelaskan. Dan dia bahkan tidak repot-repot untuk mencoba menahan kantuknya, atau mungkin mencoba berlagak untuk tidak mengantuk.
Ya… Sebenarnya dalam hatiku juga aku masih berpikir ‘siapa sih aku ini’, masa orang mengantuk tidak boleh tidur. Aku juga tidak tahu apa yang dia lakukan tadi malam, dan saat aku mengantuk aku juga akan mengutuk siapa pun yang mengganggu diriku.
Tetapi pemikiran seperti itu tidak bisa mengobati rasa kecewaku terhadap muridku yang awalnya sangat cemerlang ini. Aku mulai merasa tidak mengenalinya sama sekali.
Apakah memang ada makhluk luar angkasa yang bercokol dalam kepalanya sehingga dia menjadi orang lain?
Ah… Mana mungkin, aku terlalu banyak membaca novel.
Tetapi dalam lubuk hatiku yang paling dalam, aku sekarang memang benar-benar tidak mengenalnya.