Chapter 0: Kisah Tentangku
Karma’s POV
“Hei, hei, hei… Ayo cepat bangun”
Sebuah suara memasuki pikiranku yang masih setengah sadar setelah terbuai di alam mimpi. Dengan perasaan yang sangat berat, aku pun membuka kedua mataku yang masih penuh dengan angan-angan tentang mimpiku barusan. Kulihat sesosok wajah yang masih berusaha untuk membangunkanku dengan menampar pelan pipiku.
“Iya, aku sudah bangun. Sebentar dong…” Gerutuku sambil mencoba untuk tetap membuka mataku meskipun dengan perasaan yang sangat berat. Tanganku pun secara otomatis meraba-raba sesuatu di sebelah kiri kepalaku dan kemudian menyalakan benda kotak mungil tersebut.
‘Sial… Masih pukul tiga pagi’ Pikirku ketika melihat sebuah angka besar di layar ponselku yang menunjukkan pukul 03.10 dini hari. Siapa coba yang membangunkan anaknya pukul tiga pagi? Apakah dia pikir aku Patrick yang akan memakan burger pada pukul 3 pagi? Lupakan hal tersebut, wanita di depanku saat ini jelas tidak tahu siapa itu Patrick.
Dengan wajah malas, aku pun mencoba untuk duduk dan kemudian mengangkat kedua tanganku, menjaga mataku untuk tetap terbuka dan kemudian memanjatkan sebuah doa singkat. Aku tahu mungkin kalian akan berpikiran bahwa aku tidak akan bisa berdoa dengan jelas dalam posisi mengantuk seperti saat ini, tetapi aku sudah benar-benar bisa menghafalkan apa doa yang akan aku panjatkan pada malam ini.
Ya Allah, aku berdoa seperti biasanya, tolong kabulkan apa yang belum engkau kabulkan.
Tidak, tentu saja tidak seperti itu. Sial… Sepertinya aku masih berada di alam mimpi dan bicara sembarangan. Tolong ampuni hambamu yang tidak tahu diri ini. Mungkin Engkau merasa marah karena pada malam hari seperti ini Engkau turun ke dunia untuk mengabulkan berbagai macam doa, dan kecewa karena ada hambamu yang memanjatkan doa secara sembarangan.
Semoga Allah benar-benar mengampuniku. Tubuhku pun kembali roboh setelah memikirkan hal tersebut dan menarik selimut yang teronggok di bawah kakiku.
“Kamu tidak salat malam?” Tanya wanita yang membangunkanku barusan. Aku hanya menggeleng lemah tanpa membuka mataku karena aku masih merasa sangat malas untuk bangun.
-0-
“Hei… Bangun, buruan mandi, kamar mandinya hanya satu, nanti setelah itu baru kemudian adikmu”
Sekali lagi, suara sekaligus tamparan pelan mengganggu mimpi indahku. Meskipun aku sendiri tidak tahu apakah aku sedang bermimpi indah atau bermimpi buruk, tetapi paling tidak itu mengganggu kenyamanan kasur dan juga mataku yang masih saja berat untuk membuka.
Kenapa sih bukan adikku dulu saja yang menggunakan kamar mandi
Aku pun menendang selimutku dari kakiku dan kemudian duduk dengan mata yang masih menahan kantuk. Tanganku kembali meraih ponsel yang masih saja tergeletak di samping bantalku. Kutekan tombol di sebelah kiri ponsel untuk melihat sebuah angka yang masih menunjukkan pukul 4.35.
Wow, aku sudah tidur selama satu jam setengah, tetapi entah kenapa waktu terasa begitu cepat ketika kau sudah memejamkan mata. Aku pun beringsut dari ranjangku dan kemudian berjalan menuju ke kamar mandi dengan langkah gontai dan mata setengah tertutup.
-0-
Badan memang terasa masih segar ketika kita keluar dari kamar mandi, tetapi udara pagi yang dingin sangat mempengaruhi apa yang akan aku lakukan setelah keluar dari kamar mandi. Mungkin beberapa waktu yang lalu aku akan kembali ke kamar dan merebahkan tubuhku di atas ranjang sambil melihat YouTube. Tetapi akhir-akhir ini aku sedikit berbeda.
Mungkin aku masih berjalan menuju kamarku, tetapi dengan niat yang sama sekali berbeda. Aku ambil jaket beserta jam tangan dan headset yang sudah berada di saku nya dan segera berjalan cepat keluar. Aku merasa bahwa diriku tidak bisa santai karena aku punya jadwal yang cukup padat, meskipun kebanyakan isinya hanyalah menunggu.
Hawa dingin menusuk kulitku ketika aku membuka pintu depan rumahku dan segera mengenakan jaket agar niatku untuk berolahraga tidak terhenti hanya karena hawa dingin seperti ini. Aku pun mengenakan jam tanganku dan kemudian menyetel aplikasi untuk melacak sejauh apa aku akan berjalan pagi ini. Setelah selesai dengan jam tangan, aku pun mengeluarkan iPhone milikku dan membuka sebuah buku yang aku pinjam dari perpustakaan online beberapa hari yang lalu.
Masih tersisa sekitar 5 jam pembacaan lagi
Aku pun memutar suara untuk membaca buku tersebut dan mulai berjalan ke arah jalan raya. Suara seorang pria pun mengalir masuk melalui headset putih yang sudah kutempelkan di telingaku, menemani jalan santaiku yang tidak memiliki tujuan mau ke mana, hanya untuk berjalan-jalan saja.
Oh, iya. Aku benar-benar terlalu terbawa dengan suasana kebiasaan pagiku sehingga aku lupa memperkenalkan diriku kepada kalian semua.
Namaku Karma.
Sebenarnya itu bukan nama asliku karena aku tidak pernah terlalu percaya diri dengan namaku sendiri. Sejak kecil aku memang tidak pernah merasa terlalu percaya diri, entah dengan keluargaku, rumahku, wajahku, tubuhku, bahkan dengan namaku sendiri aku tidak terlalu PD. Padahal nama yang kupunya sejak kecil merupakan salah satu nama yang sangat banyak sekali pemiliknya. Cukup banyak bahkan meskipun aku mengatakannya kepada kalian, kalian mungkin tidak akan bisa tahu siapa aku.
Tapi, tetap saja aku merasa bahwa orang tidak perlu mengenalku sehingga aku selalu bersembunyi dibalik beberapa nama samaran.
Aku tinggal di ujung sebuah desa kecil, terlalu kecil dan terlalu di ujung sehingga sinyal selalu susah untuk memasuki rumahku. Mungkin aku tertarik dengan berbagai macam hal yang berbau teknologi, tetapi letak geografis tampaknya membatasi diriku untuk mengembangkan diriku sendiri.
Hobiku adalah membaca. Apakah kalian membayangkan seorang anak cupu dengan kacamata yang super tebal dan membawa berbagai macam buku bacaan ke mana pun dia pergi? Tepat seperti itulah aku. Bahkan saat ingin berolahraga sekalipun aku membawa serta bukuku untuk dibacakan oleh asisten pribadi di dalam iPhone milikku.
Aku pun berbelok kiri begitu melihat ada jamaah Shalat Subuh yang baru saja keluar dari salah satu mushola yang berada di jalur perjalananku. Tanpa menoleh ke arah jamaah tersebut aku hanya menatap lurus ke depan sambil mencoba untuk terus konsentrasi dengan apa yang dibacakan oleh iPhoneku.
Meskipun keluargaku dikenal sebagai keluarga yang cukup ramah dan super, aku mungkin bisa dibilang kebalikan dari keluargaku. Ayahku sangat ramah dan cukup terkenal serta dihormati di kalangan warga sekitar. Bahkan beberapa waktu yang lalu aku pernah mendengar bahwa ayahku akan dijadikan ketua RT, tetapi beliau menolak karena menganggap hal itu merepotkan dan sepertinya beliau juga terlalu tua untuk menjadi ketua RT.
Ibuku merupakan seseorang yang baik, sabar dan tak pernah lelah. Jika seluruh teman kuliahku terheran-heran dengan kerajinanku saat berada di kampus, mereka mungkin akan terkejut dengan sosok ibuku. Beliau merupakan seorang yang rajin, ulet, telaten dan juga sabar. Meskipun ibuku bukan orang yang berasal dari desaku, tetapi dengan waktu yang cukup singkat ibuku menjadi seseorang yang cukup dihormati.
Bukan karena beliau menikah dengan Ayahku, tetapi karena beliau selalu membantu tetangga setiap kali ada kesempatan. Entah itu ada hajat orang menikah, anak kecil yang di khitan, orang sakit, orang meninggal, bahkan saat ada pos ronda pun ibuku selalu aktif dalam membantu setiap kegiatan di daerah kami. Tak heran beliau menjadi orang yang cukup dihormati hanya dalam waktu sekejap.
Bisa kalian bayangkan jika kalian berada di keluarga yang terkenal seperti itu?
Jangan kalian bayangkan diriku sebagai seorang anak yang haus kasih sayang karena kedua orang tuaku adalah orang yang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Justru sebaliknya, aku merasa bahwa orang tuaku sangat menyayangiku dan adik-adikku. Ibuku memang selalu serius dalam membantu orang lain melakukan urusannya, tetapi beliau tidak pernah lupa untuk melaksanakan tugasnya sebagai ibu rumah tangga yang baik.
Setiap hari ibuku berbelanja, memasak, membersihkan rumah dan lain sebagainya. Jika aku harus bangun pagi untuk bekerja sekarang, ibuku harus bangun lebih pagi lagi untuk menyiapkan sarapan yang akan aku santap selama aku bekerja. Ayahku merupakan seorang pedagang keliling yang selalu bekerja keras. Beliau berangkat setelah Subuh dan kemudian pulang sekitar jam 10 untuk menggarap sawah miliknya. Adikku yang paling kecil masih sekolah SMA, dan dengan prestasi dan otaknya yang cemerlang, dia dituntut untuk terus menerus belajar meskipun dia juga menyempatkan diri untuk bermain game sesekali.
Aku tahu kedengarannya keluargaku seperti seseorang yang selalu sibuk dengan dirinya sendiri, tetapi kami semua tidak seperti yang pernah kalian lihat di sinetron. Aku dan ibuku cukup sering bersenda gurau ketika malam hari, sering kali kami menonton film bersama-sama bersama dengan adikku. Ayahku juga selalu menyempatkan untuk membantu adikku dalam mengerjakan tugasnya, meskipun waktu malam beliau sering kali sudah kecapaian.
Bisa dibilang, keluarga kami adalah keluarga kecil yang berbahagia.
Tapi entah kenapa itu membuatku tidak percaya diri.
-0-
“Pagi, Pak”
“Ya, Pagi” Sahutku singkat membalas sebuah sapaan dari seorang gadis dengan kerudung merah yang tersenyum kecil ketika dia melewatiku yang sedang berdiri dan berusaha membuka kunci kantor.
Aku adalah seorang guru, meskipun aku masih belum lulus kuliah, dan juga meskipun kuliahku bukan kuliah pendidikan. Entah kenapa aku begitu menyukai pekerjaanku di sini selama dua tahun belakangan ini bahkan jika banyak orang yang mengejekku kalo gajiku tidak cukup untuk ditukarkan dengan waktu yang telah kusia-siakan. Aku hanya berpikir apa yang sia-sia dari mengejar kebahagiaan dengan pekerjaan yang benar-benar aku senangi.
Kriett…
Pintu kantor pun terbuka dengan bunyi yang cukup nyaring, tapi hal tersebut tidak mengejutkan karena memang kurasa sudah biasa jika pintu yang ada di asrama memiliki keadaan yang cukup mengenaskan.
Ya… Seperti yang sudah kalian duga, aku mengajar di sebuah sekolah yang berbasis boarding school. Aku tidak tahu sejak kapan istilah itu ditemukan, tetapi itu terdengar keren aja di telinga meskipun artinya hanyalah sekolah yang menyediakan fasilitas asrama dan pondok pesantren juga. Intinya di sinilah murid-murid menghabiskan hampir seluruh harinya untuk berada di sekolah.
Dulu aku pernah ingin untuk menjadi guru penuh waktu di sini, tetapi akhir-akhir ini aku makin tidak percaya diri dengan keadaanku sekarang sehingga aku mengurungkan niatku untuk menjadi guru yang penuh di sini dan tetap menjadi guru yang hanya mengajar saat jam sekolah saja. Meskipun aku selalu berangkat pagi dan pulang malam juga sih.
Kuletakkan tasku di atas meja dan kemudian mencoba untuk melihat apa yang bisa kukerjakan pada pagi ini. Beberapa anak perempuan tampak berseliweran di depan kantor, mempersiapkan pengajian yang akan diadakan di lantai dua. Kantor untuk guru memang satu gedung dengan asrama putri, meskipun aku tidak begitu suka dengan kantor di sini tetapi aku masih membutuhkan fasilitas koneksi sehingga aku terpaksa harus mengerjakan sesuatu di sini.
“Assalamualaikum, Pak”
Ini dia yang membuatku tidak begitu suka dengan kantor ini. Banyak sekali gangguan yang selalu memotong pekerjaanku. Aku yakin dan percaya bahwa manusia harus fokus sepenuhnya pada satu tugas agar dapat menghasilkan sesuatu yang benar-benar maksimal. Dan aku tidak mendapatkan hal tersebut di kantor ini.
Ada aja yang mengganggu
“Ada apa” Sahutku pada gadis dengan kerudung biru tersebut. Aku sebenarnya kenal siapa dia, tetapi aku tidak menyebutkan namanya di sini.
“Bapak lagi apa?” Katanya balik bertanya.
“Lagi kerja” Jawabku sekenanya saja. Percuma juga harus menjelaskan hal ini dan itu kepada cewek SMK yang berada di depanku ini. Aku ragu dia akan mengerti apa yang aku jelaskan nantinya. Dia pun berjalan dan kemudian duduk di depanku dan sekitar lima menit kemudian dia bercerita panjang lebar tentang masalahnya dengan keuangannya. Aku hanya menghela nafas kecil mendengar semua keluhan tersebut.
“Ngomong dong pak… Masa dari tadi diam aja” Katanya seolah menuntutku.
Hei… Apa yang harus aku omongkan dengan semua masalah keuanganmu itu? Bahkan jika aku memberikan nasehat padamu kalo kau harus berhemat pun kau tidak akan mendengarkan, lantas apa gunanya aku ngomong?
Mungkin itu yang ingin aku sampaikan padanya di dalam pikiranku, tetapi pada kenyataannya aku hanya tersenyum geli mendengar curahan tersebut. Entah kenapa aku selalu memiliki masalah untuk mengungkapkan perasaan kepada orang lain.
Mungkin aku punya pendapat dan nasehat, tetapi tetap saja yang keluar hanyalah sebuah senyuman. Mungkin aku kadang merasa sedikit senang karena pujian, tetapi yang keluar hanyalah ekspresi canggung yang membosankan.
Dan mungkin saja terkadang aku suka sama seseorang, tetapi yang keluar hanyalah pengalih perhatian.
-0-
“Kelihatannya guru untuk kelas 7 kosong” Kata kepala sekolah setelah melihat ke arah ponselnya. Telingaku sedikit berdiri ketika mendengar hal tersebut. Aku mengingat-ingat apa jadwal pelajaran di kelas 7 pada hari ini. Sepertinya Bahasa Indonesia ya, tumben sekali ada guru senior yang tidak masuk. Biasanya juga anak muda yang malas masuk.
Aku masih terdiam ketika mendengar hal tersebut. Aku pernah masuk ke dalam kelas 7 tahun ini, dan kurasa kelas 7 untuk tahun ini masih tidak separah yang tahun lalu. Lebih tenang, sedikit lebih aktif dalam pembelajaran dan sepertinya juga sedikit lebih lucu. Aku masih belum mengenal mereka semua, tetapi bisa dibilang untuk kali ini dalam tahap yang antusias dengan kelas 7.
Tetapi tentu saja aku tidak bisa langsung menawarkan diri untuk mengisi kelas Bahasa Indonesia yang kosong.
“Karma, kamu tidak mengajar sekarang?” Tanya Kepala Sekolah yang hanya kujawab dengan menggelengkan kepalaku pelan.
“Ya sudah, isi kelas nya sebentar ya” Kata Kepala Sekolah sebelum beliau kembali memasuki ruangannya.
Perasaanku pun campur aduk antara senang, tegang dan juga deg-degan. Beberapa waktu yang lalu mungkin aku senang jika disuruh untuk mengisi di kelas 7, tetapi untuk sekarang aku harus mempersiapkan sesuatu yang lebih daripada yang lain. Dan, aku juga tidak mengira bahwa guru Bahasa Indonesia yang biasanya tertib ini harus tidak masuk dan aku yang harus menggantikannya.
Kriett…
Pintu ruang guru pun terbuka dan kulihat guru yang mengajar di kelas 7 tampaknya juga sudah keluar. Tidak ada waktu untuk persiapan mental, aku harus masuk meskipun aku gugup setengah mati. Aku pun berdiri dan mengambil tas kecilku lalu berjalan keluar dari ruang guru dengan langkah cepat sebelum akhirnya berhenti di depan sebuah ruang kelas yang tertutup.
Entah kenapa aku merasakan sesuatu yang berbeda saat aku memasuki kelas ini. Meskipun aku mengetahui apa yang membuatku merasa gugup di sini, tetapi aku masih belum bisa berbuat banyak dengan perasaanku sendiri. Aku pun memasuki kelas tersebut sambil sedikit menundukkan kepala, merasa tidak percaya diri untuk melihat ke arah siswa yang tiba-tiba saja duduk diam sebelum bersorak riuh.
Sial… Kalian bikin aku tambah gugup aja
Dengan langkah yang cepat aku pun berjalan, mengambil spidol dari dalam tasku dan mulai menulis tugas yang dititipkan kepadaku sebelum akhirnya duduk di belakang meja guru. Kupaksakan seulas senyuman kecil dengan wajah yang kubuat ceria dan bersemangat untuk menjelaskan tugas tersebut, meskipun dalam hati aku benar-benar gugup.
Apalagi saat melihat dia yang sedang duduk di barisan kedua.
“Oke, ini adalah tugasnya. Jangan lupa dikumpulkan ya”
-0-
Mungkin kalian mengira bahwa aku akan menceritakan kisah romansa menggelikan tentang diriku dan juga muridku yang duduk di barisan kedua, tetapi rasanya itu sudah tidak penting lagi karena aku sudah bisa membayangkan bagaimana akhirnya. Akhir yang buruk.
Tetapi itu bukan alasan untuk berputus asa, bukan?
Ini adalah sebuah cerita tentangku, yang mencoba mengenal diriku sendiri.