Ketidaktahuan Lebih Baik daripada Ketahuan
Chapter 07
Seandainya saja orang hidup tanpa agama, apakah kau merasa bahwa kehidupan mereka akan lebih baik?
Entah itu pertanyaan yang mengejutkan, ataukah memang Alvaro masih berusaha memikirkan alasan yang masuk akal untuk pertanyaan tersebut, tetapi dahi pemuda itu sekarang tampak berkerut.
Claudia menatap pemuda di depannya, sedikit terkejut dengan perubahan ekspresi pemuda tersebut. Pikirannya kembali diliputi oleh keraguan setelah sebelumnya dia sedikit kagum dengan pengetahuan yang dia dapat dari pemuda di depannya.
Apakah pemuda ini tahu apa yang sedang dia katakan? Atau memang dia hanya berniat untuk membual di depannya?
Kenapa ekspresinya berubah secepat itu setelah aku menanyakan hal tersebut? Apakah dia memang tidak tahu kebenarannya?
Banyak orang hanya bisa mengkritik tanpa menunjukkan solusi tentang apa yang harusnya dilakukan dengan kritik tersebut?
Dan dari sedikit orang yang mengajukan solusi, lebih sedikit lagi orang yang bisa memikirkan matang-matang secara universal solusi yang dia ajukan.
Boleh saja para buruh berdemo tentang kesejahteraan mereka, beberapa dari mereka mengajukan solusi dengan memberikan subsidi, kebijakan, perlindungan buruh dan lain-lain, tetapi jarang dari mereka memikirkan apa risiko dan dampak tentang solusi yang dikatakan, dan mau bertanggung jawab dengan solusinya.
Claudia benci dengan orang semacam itu. Orang berpikiran dangkal yang merasa mengetahui semuanya dan kemudian memberikan kritik dan solusi seolah mereka adalah orang paling pintar diseluruh dunia.
Tapi, mereka semua lari dari akibat solusi yang mereka berikan.
Dan…. Kita lihat saja apakah Alvaro termasuk orang yang penuh dengan omong kosong tersebut.
“Aku… tidak sepenuhnya kontra dengan apa yang disebut dengan agama sebagai identitas sosial tanpa pemahamaman spiritual. Maksudku….” Alvaro tampak masih bingung merangkai kata-kata. Claudia tampak menatapnya dengan tatapan…. sedikit tajam.
Mungkin hal itu dikarenakan apa yang diucapkan oleh Alvaro kali ini sedikit berbeda dengan apa yang dikatakannya beberapa saat yang lalu. Ini membuat kredibilitas dan prinsip nya runtuh karena menelan omongannya sendiri beberapa waktu yang lalu.
“Oke, kita lakukan sedikit pemisalan. Kira-kira apa yang membuat manusia bisa memenangkan pertarungan di alam ini sehingga populasi mereka meledak seperti sekarang?” Kata Alvaro mencoba mengalihkan pembicaraan.
Claudia tampak mengangkat sebelah alisnya, seolah merasa heran dengan perubahan yang tiba-tiba dari bahan pembicaraan Alvaro. Apa hubungannya agama dengan pertarungan alam?
Eh…. Mungkinkan jawabannya?
“Apa menurutmu agama adalah hal yang sangat berperan penting untuk membangun umat manusia?” Tanya Claudia.
“Hampir. Yuval dalam bukunya menyertakan tiga hal yang membuat manusia bisa menguasai dunia saat ini, terlepas dari revolusi kognitif mereka beberapa puluh ribu tahun silam. Itu adalah uang, agama dan negara” Jelas Alvaro.
“Wow… So, apakah jika manusia tanpa agama mereka hanya akan menjadi sesuatu yang tidak penting di alam ini? Misalkan kita ganti saja, harimau yang memiliki agama, apakah tampuk kekuasaan di alam akan berpindah ke spesies harimau?” Tanya Claudia.
Dia sedikit tertarik juga melihat bagaimana Alvaro mempertahankan pendapatnya dengan menggunakan pendapat orang lain yang lebih ahli daripada dirinya sendiri. Dia menunjukkan kredibilitasnya sebagai seorang mahasiswa dengan memperkuat pendapatnya melalui sumber yang kredibel.
“Tidak juga. Tanpa revolusi kognitif, spesies yang lain mungkin akan menganggap agama hanya omong kosong. Kekuasaan manusia atas alam berawal cukup lama setelah mereka memisahkan diri dari anggota primate lain dengan berjalan menggunakan dua kaki” Jelas Alvaro.
“Setelah berjalan dengan dua kaki, daripada tubuh mengembangkan gen untuk memperkuat tulang kaki yang pastinya akan cukup berat untuk digerakkan, manusia ber-evolusi untuk mengecilkan pinggul. Hal ini berpengaruh pada lahirnya bayi premature yang masih harus berkembang sebelum di lahirkan. Hal ini….” Lanjut Alvaro.
“Tunggu sebentar…. Kenapa kau menjelaskan semua proses evolusinya secara biologis, apakah itu juga berpengaruh pada agama?” Potong Claudia begitu melihat pembicaraan Alvaro yang melenceng dari pertanyaan sebelumnya.
Gadis itu tampaknya masih sebal dan merasa bahwa Alvaro sengaja untuk memperpanjang topik agar menjauh dari topik awalnya yang begitu sensitive dan rapuh buat pendapatnya. Pemuda itu tampak lebih sebal lagi karena ceritanya dipotong di tengah jalan.
“Dengerin dulu makanya, baru simpulkan hubungannya. Dasar….” Sungut Alvaro.
“Hal ini mengakibatkan parenting menjadi penting bagi manusia. Daripada memanfaatkan pendidikan dalam kandungan seperti hewan lain, manusia lebih memilih pendidikan di luar kandungan. Setelah melahirkan, manusia mendapatkan beban mendidik anaknya sehingga membutuhkan perlindungan ekstra. Untuk itulah, manusia harus membentuk sebuah kawanan yang saling bahu-membahu” Jelas Alvaro. Claudia tampak masih manggut-manggut dengan apa yang dijelaskan oleh Alvaro, meskipun dia masih belum tahu apa hubungannya ini dengan agama.
“Lalu, apa bedanya dengan kawanan serigala atau singa?” Tanya Claudia.
“Bukan kawanan biasa yang tujuannya hanya berburu, tetapi juga membesarkan anak dalam kawanan, melindungi mereka, melindungi para betina yang lemah setelah melahirkan, dan mendidik anak mereka. Tugas yang kompleks ini tidak bisa di tangani dengan cara berkomunikasi sederhana antar individu dalam spesies sehingga manusia mengembangkan beberapa jenis komunikasi berbeda untuk tugas yang kompleks ini. Ini yang disebut dengan revolusi kognitif” Jelas Alvaro.
“Ya? Lalu?” Tanya Claudia.
“Manusia bisa bekerja sama dengan baik karena mereka menciptakan sistem komunikasi yang biasa kita kenal dengan bahasa. Hewan lain bisa membedakan suara mereka sendiri dengan menggunakan frekuensi, kekerasan dan nada, tetapi manusia mengenal suku kata, syllable atau apalah itu untuk menyampaikan maksudnya. Ini mengakibatkan manusia memiliki cara komunikasi yang cukup berkembang sehingga mereka bisa bekerja sama dengan baik” Jelas Alvaro.
“Tetapi, evolusi biologis tidak berjalan semudah itu. Meskipun kita bisa bekerja sama dengan baik, tetapi otak kita belum bisa menyesuaikan diri dengan hal tersebut secara biologis. Otak kita masih terlalu kecil untuk menangkap sebuah kawanan yang terus membesar menjadi suku” Lanjut Alvaro.
“Untuk terus bekerja sama, kita harus saling percaya dengan semua orang dalam kawanan tersebut, tetapi otak kita tidak mampu mengenal dan memperhitungkan tingkat kepercayaan kita pada banyak orang sekaligus. Kau mungkin bisa mempercayai keluarga dan beberapa teman dekatmu, tapi kau tidak akan bisa mempercayai lebih dari 150 orang. Hal ini menyebabkan evolusi mencari jalan lain, yaitu dengan evolusi psikologis” Kata Alvaro.
“Membuat sistem kepercayaan yang lebih simpel?” Tanya Claudia yang hanya dijawab dengan anggukan pelan oleh Alvaro.
“Penyederhanaan adalah sesuatu yang sangat disukai oleh otak. Daripada kita memperhitungkan kepercayaan dengan mengandalkan pertimbangan kepribadian, latar belakang kehidupan, dan hal rumit lainnya, kita mulai membuat sebuah penyederhanaan untuk semua itu. Itulah kepercayaan” Jawab Alvaro.
“Manusia mulai membuat kisah-kisah dan mitos-mitos untuk membangun sistem tersebut. Tujuannya adalah untuk mengenali apakah manusia lain bisa diajak kerja sama atau tidak. Jika manusia tersebut mempercayai apa yang kita percayai, maka manusia itu bisa diajak kerja sama” Lanjut Alvaro.
“Dan, kepercayaan itu lah yang membuat manusia bisa semaju ini. Sekarang semua orang percaya pada kekuatan lembaran kertas yang bernama uang, atau kartu tanda penduduk suatu negara, atau bahkan jenggot dan gamis. Mereka lebih mudah diajak kerja sama dengan atribut simple dan terlihat sehingga peradaban manusia semakin maju seperti sekarang” Kata Alvaro mengakhiri penjelasan nya tentang agama dan teori evolusi. Claudia tampak manggut-manggut mengerti apa yang dijelaskan oleh Alvaro.
“So, dunia tanpa agama menurutku, tidak akan jadi seperti ini. Aku tidak menyalahkan agama apa pun, but jika pemahaman kita tentang agama tuh salah, kita bisa terpecah belah sebagai umat manusia” Jelas Alvaro.
Memang, agama memegang peranan penting sekali dalam kemajuan peradaban manusia. Tanpa agama mungkin saja manusia tidak semaju ini.
Tetapi yang menjadi masalah adalah bagaimana para pemuka agama ini memahami agamanya. Jika mereka hanya menggunakan agama sebagai alat untuk memuaskan kepentingan sosial mereka, pasti mereka akan menganggap bahwa seseorang dengan agama yang berbeda dengan mereka menjadi spesies yang berbeda dari mereka.
Manusia itu adalah Homo Sapiens. Entah dia orang islam, Kristen, Buddha, bahkan ateis sekalipun mereka tetaplah Homo Sapiens. Tidak ada agama yang lebih superior sehingga membentuk spesies baru yang ditakdirkan untuk menguasai dan membunuh manusia.
Tetapi jika kita memahami agama dengan pemahaman yang salah, maka pemahaman seperti itu mungkin saja menjadi nyata. Orang Islam bisa saja mengaku bahwa mereka memang ditakdirkan untuk membunuh semua non-muslim.
Ini pastinya akan memecah belah umat manusia dan itu bertentangan dengan tujuan agama pada awalnya.
“So, apakah kau punya solusi untuk masalah ini?” Tanya Claudia pada Alvaro. Pemuda itu tampak terkikik geli dengan apa yang ditanyakan oleh Claudia.
“Bahkan orang paling berkuasa di negara ini pun sedang berusaha mencari solusi untuk mendamaikan mereka. Apa yang membuatmu berpikir bahwa mahasiswa santai sepertiku memiliki solusi untuk sesuatu yang besar?” Kata Alvaro.
Claudia tampak terkesiap sejenak dengan apa yang dikatakan oleh Alvaro. Setelah hal-hal besar yang dibicarakan olehnya seolah-olah dia mengetahui semuanya tadi, dia hanya terkikik geli sambil mengatakan bahwa dia tidak bisa mencarikan solusi.
Omong kosong macam apa ini
Gadis itu tampak kesal. Dia tidak suka dengan omongan yang tidak ada ujungnya, tanpa tindakan yang bisa dia lakukan, bahkan tanpa kesimpulan mana yang merupakan hal yang benar dan mana yang salah.
Menurutnya, ini cuma omong kosong yang menghabiskan waktu.
“Tapi… Jika boleh aku berharap bahwa jika manusia benar-benar ingin berjuang untuk kebaikan mereka, dan untuk bumi yang sedang sakit ini” Kata Alvaro sambil mengalihkan pandangannya, seolah mengatakan sesuatu yang tidak akan bisa diraihnya.
“Maksudmu?” Tanya Claudia sedikit penasaran dengan apa yang dibicarakan oleh Alvaro.
Prasangka buruknya tadi perlahan memudar melihat ekspresi yang tidak bisa dijelaskan di raut wajah milik Alvaro. Pemuda yang tadinya tampak santai, seolah mengetahui semuanya, sekarang tampak sangat gelisah.
“Kekuatan manusia secara kolektif ini begitu mengerikan. Hanya beberapa puluh ribu tahun setelah revolusi kognitif zaman dahulu, dan sudah banyak hal yang berubah dari bumi kita karena ulah manusia. Bahkan setelah revolusi sains yang hanya beberapa abad yang lalu, bumi kita menjadi lebih tidak stabil. Seolah-olah alam sendiri menolak untuk mengurusi spesies kita” Kata Alvaro.
“Kau pikir beberapa puluh ribu tahun itu hanya sebentar?” Tanya Claudia sedikit heran dengan pemilihan kata dari Alvaro.
“Untuk umur geologis dan arkeologis itu sangat sebentar sekali. Dinosaurus punah 65 juta tahun yang lalu, umur bumi sekitar 4 milyar tahun. Bumi membutuhkan waktu sekitar 2 milyar agar bisa pantas dihuni oleh makhluk bersel satu. Bandingkan dengan manusia yang menjadikan bumi ini seolah-olah pelayannya hanya dalam waktu paling lama 100 ribu tahun? Kau tahu perbedaan 2 milyar dan 100 ribu? Bukankah itu mengerikan?” Jelas Alvaro.
Claudia tampaknya tersadar, bahwa dia memandang dunia berbeda dengan apa yang Alvaro pandang. Baginya, menjadi seorang pelajar yang berprestasi selama 12 tahun saja sudah merupakan waktu yang lama. Tetapi bagi orang yang tertarik dengan sejarah, waktu 12 tahun itu mungkin hanya satu butir beras dalam segudang beras waktu sejarah.
“Kekuatan manusia disertai dengan kesadaran mereka, tampaknya membuat spesies kita terlalu sombong dan memandang seolah-olah kita bisa melakukannya sendiri tanpa bantuan dari alam” Kata Alvaro.
“Maksudku, lihat mereka semua” Kata Alvaro sambil merentangkan tangannya, seolah menunjukkan pada Claudia seluruh teman mahasiswa yang sedang berkeliling dan bersantai seperti biasanya.
“Tidak ada manusia yang khawatir bahwa alam tidak akan menyediakan makanan untuk mereka besok. Tidak seperti harimau yang selalu berharap akan ada barang buruan yang bisa mereka tangkap besok, atau seperti jerapah yang berharap akan dapat daun yang hijau” Kata Alvaro.
“Mereka hanya berharap bahwa mereka mendapatkan nilai yang bagus di mata kuliah mereka, atasan mereka membayar gaji mereka, atau tetangga mereka tidak mencampuri urusan mereka. Semua yang mereka harapkan sudah dipenuhi oleh sistem tersendiri sehingga mereka merasa tidak bertanggung jawab terhadap apa yang mereka perbuat di alam” Lanjut Alvaro.
Claudia tampak terdiam dengan penjelasan dari Alvaro. Memang benar, dia tidak memungkiri bahwa dia sendiri tidak pernah peduli dengan alam ini.
Yang dia pedulikan adalah bagaimana koneksi internet bisa lancar, atau kode yang sudah susah payah dia buat itu bisa berjalan lancar, atau teman sekamarnya yang rese tidak mengganggunya dengan curhat mereka yang random.
Kebanyakan manusia (termasuk dia sendiri) tidak merasa terlalu membutuhkan alam untuk bertahan hidup. Dia hanya bergantung pada sistem negara, sekolah, dan agama untuk bisa bertahan hidup.
“So, kau menyebut mereka semua sombong?” Tanya Claudia.
“Mungkin kata itu kurang tepat, tetapi bisa dibilang bahwa mereka semua egois, hanya mementingkan kepentingan mereka sendiri. Kita memang sudah kuat, tetapi kita kurang rendah hati. Kita merasa bahwa semua hal yang sudah spesies kita lakukan ini merupakan hasil jerih payah kita sendiri”
“Kita merasa bahwa kita mampu untuk menaklukan semuanya, termasuk bumi kita ini demi kepentingan kita sendiri. Kita merasa gak butuh dengan bumi ini sehingga kita menginjak-injaknya tanpa tahu kita menyakitinya, tetapi kita menjilat dosen kita dengan kata-kata manis karena kita membutuhkan dosen untuk melanjutkan hidup. Lelucon macam apa ini?” Kata Alvaro. Wajahnya penuh dengan kekesalan, sekaligus kegelisahan yang entah dia dapat dari mana.
“Tidak hanya itu, kita juga terlalu menjilat agama kita sendiri sehingga meninggikan agama di atas hal yang lain. Hal itu membuat kita sombong dan beranggapan bahwa hanya dengan agama kita bisa menjadi spesies yang lebih baik” Lanjut Alvaro.
“Semua ini adalah tentang kesombongan dan egoisme umat manusia dalam menghadapi kehidupan. Jika kau pernah mendengar tentang 7 dosa besar, aku setuju sekali kalau kesombongan merupakan salah satu induk dari segala macam dosa” Simpul Alvaro ketika menjelaskan hal tersebut.
Claudia tampak manggut-manggut mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Alvaro. Mungkin dia sendiri juga merasa bahwa manusia bahkan dirinya sendiri, terlalu sombong dan tidak pernah peduli pada alam.
Gadis cantik itu pun menolehkan kepalanya dan menghela nafas pelan ketika melihat teman-teman nya yang sedang berlalu lalang di depan perpustakaan. Mereka semua begitu tenang, begitu riang, begitu yakin bahwa masa depan sangat cerah bagi mereka.
Seberkas sinar mulai menyeruak masuk melalui sela-sela plafon teras yang menaungi tempat diskusi asyik mereka. Mentari tampaknya sudah mulai turun dan menyapa Claudia dengan sinarnya yang hangat, tetapi cukup menyilaukan sehingga memaksa Claudia untuk mengangkat tangannya, melindungi wajah dan matanya dari sinar yang menyilaukan tersebut.
Alvaro tampak tersenyum kecil begitu melihat cahaya menyilaukan yang tiba-tiba bercahaya dari ufuk barat tersebut. Wajah bersih yang terkesan santai tersebut mulai bercahaya ketika sinar mentari senja juga ikut menerangi nya sedikit demi sedikit.
“Tak terasa waktu berlalu begitu cepat” Kata Alvaro sambil mengambil buku Sejarah Tuhan miliknya.
“Apa aku sudah boleh mengambil ini?” Tanya Alvaro sambil menunjukkan buku tersebut. Gadis yang berada di depannya pun mengangguk kecil sambil tetap melindungi matanya dari pancaran sinar matahari yang sedikit demi sedikit mulai turun dan menyebalkan.
“Thanks buat hari ini ya” Kata Alvaro sambil berdiri menenteng tas nya setelah memasukkan bukunya ke dalam tas tersebut. Claudia tampak menatap heran pada Alvaro. Cowok santai itu pun balas menatap matanya dengan tatapan yang tak kalah heran.
“Kenapa tatapanmu begitu? Tempat ini jadi ga asik kalo udah sore, selain itu aku juga mengambil part time untuk sore hari. Kalo mau melanjutkan diskusi, kita bisa lanjutkan di tempat kerja” Kata Alvaro. Claudia pun terkesiap mendengar ucapan Alvaro yang penuh percaya diri tersebut. Semburat merah tampak muncul di pipinya, entah karena tersipu atau karena sinar mentari.
“Siapa juga yang masih mau melanjutkan diskusi. Aku juga punya urusan tau” Gadis itu pun langsung berdiri dan melengos pergi setelah mengatakan hal tersebut dengan nada sewot, meninggalkan Alvaro yang masih berdiri dan bingung dengan ucapannya tadi.
“Ih…. Dasar. Kutunggu besok kau disini, ada buku keren yang juga harus kau baca” Teriak Alvaro ketika menyadari bahwa Claudia sudah cukup jauh untuk dia kejar. Pemuda itu pun hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya dengan ekspresi bingung sebelum akhirnya mengangkat bahunya tidak peduli.
“Sudahlah”
TBC
Kira-kira Claudia bakal balik ga ya?